Incinews.net
Selasa, 07 Desember 2021, 16.13 WIB
Last Updated 2021-12-07T17:07:37Z
MataramNTB

Mosi Jokowi 3 Periode, Kembalinya Orde Baru atau Cerminan Boneka Pemerintahan?

Foto: Presiden Jokowi dan Mahasiswa  Kampus Unram Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial Politik.


Jokowi 3 Periode Mungkinkah?

Masa pemerintahan Presiden Joko Widodo periode kedua yang tengah berjalan saat ini, setidaknya cukup berhasil membawa Indonesia kepada usaha pemerataan pembangunan yang hampir menyeluruh.

Pembangunan ini tidak pelak melibatkan perpanjangan tangan dari China setelah Presiden Jokowi setuju untuk bergabung dalam proyek ekonomi BRI (BELT AND ROAD INITIATIVE). 

Pada masa orde lama, tepatnya pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno, proyek serupa mengalami kebuntuan dan belum dapat terealisasikan oleh karena itu, danya proyek yang dicanangkan oleh China ini, tidak dapat dilewatkan begitu saja oleh Jokowi.

Keuntungan yang diperoleh oleh Indonesia sendiri ialah suntikan dana yang disanggupi oleh pihak China sebanyak 90% dari total dana yang dibutuhkan. Tentu saja dengan latar belakang usaha pemulusan Jalur Sutra Baru untuk perdagangan yang direncanakan. 

Keterbukaan Indonesia terhadap datangnya berbagai investor luar negeri juga merupakan hasil dari persetujuan Presiden Jokowi atas terciptanya UU Cipta Kerja pada tahun 2020 yang lalu.

Meskipun mendapat beberapa kendala, terutama ketidaksetujuan masyarakat yang berperan sebagai bottom dalam negara. Nampaknya, aksi protes besar-besaran yang mewarnai penjuru  negeri tidak juga menumbangkan eksistensi tumbuhnya UU baru tersebut hingga saat ini. Selain dari itu, keinginan Jokowi akan memindahkan Ibukota dari Jakarta ke Kalimantan Timur pula mendapat tentangan dari berbagai kalangan.

Meskipun, pada akhirnya proyek tersebut tetap dilaksanakan dan akan melakukan perpindahan secara bertahap. Permintaan Jokowi ini dijadwalkan akan terealisasikan secara penuh pada tahun 2024 mendatang. 

Tidak sampai disitu, Jokowi semakin eksis setelah mampu membawa Indonesia sebagai Presidensi dari forum G20. G20 ialah forum kerjasama multilateral berbasis ekonomi yang beranggotakan 19 negara termasuk Indonesia, dan Uni Eropa. Pencapaian ini tentu merupakan kesempatan emas bagi Indonesia untuk semakin berkiprah di ranah Internasional juga sebagai lahan untuk meningkatkan prospek ekonomi dan keuangan domestik. 

Keberhasilan yang ditorehkan oleh Jokowi bagi Indonesia tentunya  menimbulkan harapan-harapan besar lainnya. Mengingat sejarah kegagalan Indonesia menjadi negara maju pada orde lama menjadi pelajaran berbagai pihak bahwasannya kesempatan tersebut harus mampu diciptakan kembali dan diraih. Keinginan negara untuk memiliki pemimpin yang berintegritas tinggi bukanlah sebuah kabar burung belaka. 

Munculnya mosi 3 periode merupakan inisiatif dari pemikiran Surya Paloh, seorang petinggi Partai Nasdem yang secara terang-terangan mengakui keinginannya agar Jokowi dapat mengisi kursi kepresidenan pada Pemilu selanjutnya. Sejalan dengan fakta bahwa partai inilah yang menyokong kepemerintahan Jokowi. 

Meski demikian, ia sendiri sudah dengan jelas menyadari bahwa hal tersebut bertentangan dengan konstitusi yang ada. Cetusan Surya Paloh ini akhirnya menandai adanya simpatisan pro terhadap mosi jabatan Jokowi 3 periode selanjutnya. Isu ini kemudian dibabat habis dengan penolakan mosi oleh Jokowi melalui pengakuan Fadjroel Rachman, selaku juru bicara presiden.

Kemudian apa yang perlu diperhatikan dari lahirnya mosi Jokowi 3 periode? Hal pertama yang dapat ditangkap ialah bahwa hal tersebut sudah jelas melenceng dari ketentuan konstitusi oleh UUD 1945 yang dengan jelas mengatur masa jabatan presiden hanya diperuntukkan selama dua dekade saja. 

Jika melihat kembali sejarah Indonesia, akibat dari adanya pembatasan masa jabatan tersebut tidak ditetapkan secara sembarangan melainkan dilatarbelakangi oleh dua peristiwa besar, yaitu G30S/PKI dan kejatuhan rezim orde baru 1998. Dari kedua kepemerintahan Ir. Soekarno dan Soeharto terdapat kesamaan jelas yaitu bagaimana kedua pemimpin ini hampir menjabat sebagai presiden seumur hidup.

Pembatasan hak masyarakat dan pers pada kedua orde ini menyesakkan masyarakat Indonesia. Ketika Soekarno berdampingan dengan PKI, hutang pertama Indonesia pada bank duni World Bank juga penyelewengan kewenangan.

Lain halnya dengan Soeharto yang melibatkan militer dalam perpolitikan, tidak mampu mengatasi krisis ekonomi, pelanggaran HAM dan korupsi yang melonjak. Namun naasnya, mereka masih bersiteguh dengan keotoriteran dimana dengan jelas bahwa yang menjadi dasar negara adalah demokrasi, yakni dimana rakyat memiliki andil dalam memperhitungkan dan menentukan jalannya sebuah pemerintahan. Dan pada akhirnya, mereka harus melepas kekuasaan dengan cara yang tidak terhormat. 
Lalu, apakah Indonesia harus kembali mengalami hal yang sama? Tidakkah cukup peristiwa lampau mengingatkan bahwa kekuasaan berlebih adalah sesuatu yang bersifat mengancam.

Apabila mosi ini berlanjut, kemudian mampu meraih simpatisan yang lebih banyak, bersamaan dengan adanya amandemen UUD 1945 baru yang didukung oleh pemegang kursi pemerintahan ini bukanlah lagi hal yang mustahil terjadi.  Tidak adanya jaminan bahwa mosi 3 periode ini akan terhenti begitu saja jika berhasil dilaksanakan.

Namun, besar kemungkinan bahwa amandemen-amandemen selanjutnya akan terus dilakukan. Hal ini membawa kita tidak hanya pada pembatasan masa jabatan presiden, namun juga pada pihak-pihak yang mengambil keuntungan dan bagian ketika hal tersebut berlangsung. Akan lebih banyak permainan politik kotor yang mengatasnamakan kepentingan nasional, dan sayangnya rakyat akan dipaksakan untuk menerima hal tersebut secara cuma-cuma seperti yang terjadi saat ini. 

Memiliki kekuasaan dalam waktu yang lama akan menimbulkan suatu sifat alami yang dapat berbentuk kenyamanan, hingga pada titik yang mengkhawatirkan yaitu, kewaspadaan dan egoisme. Sifat waspada akan ada pihak lain yang menjatuhkan kekuasaan seperti yang dirasakan Soekarno yang oleh karenanya mengambil keuntungan dengan berpihak pada PKI, dimana pada saat itu berperan sebagai salah satu partai pendukung terbesar di Indonesia pada masa itu. 

Kemudian pada era Soeharto, beliau memiliki kewaspadaan terhadap kemampuan ekonomi dari etnis China yang dianggap akan menggeser peran pribumi dengan menerapkan kebijakan asimilasi yang berujung pada politik diskriminasi dan menyebabkan pelanggaran HAM. Kekuasaan juga meliarkan egoisme, dimana kedua pemerintahan orla dan orba sama-sama mengedepankan keotoriterian mereka dalam bertindak. Egoisme akan beranggapan bahwa sebaik-baiknya pemerintah adalah yang berasal dari keputusan dan tujuan mereka pribadi dan menyepelekan kebutuhan masyarakatnya. 

Egoisme juga diperlihatkan Soekarno secara terang-terangan ketika ia melakukan perampingan terhadap partai politik dan hanya menyisakan dua partai yang ia anggap dapat terus mendukung masa pemerintahannya. 

Menurut penulis, seperti yang telah disebutkan sebelumnya mengenai akan ada kemungkinan terjadinya politik kotor apabila UUD 1945 diamandemen kembali, ialah ketika tujuan utama diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat Indonesia akan sedikit-demi sedikit digeser dan disamarkan untuk memenuhi tujuan kelompok-kelompok tertentu. 

Tidak dapat terelakkan bahwa setiap penguasa yang berhasil meraih kursi kekuasaan pastilah disokong oleh orang-orang yang berkuasa pula. Bahkan untuk melakukan kampanye pada masa pemilu akan membutuhkan dana yang tidak sedikit dan dilakukan berulang kali.

Adanya upaya tindakan menjadikan pemimpin setingkat presiden layaknya boneka pemerintahan merupakan hal yang sangat fatal karena dapat meruntuhkan negara itu sendiri. Asumsi ini terkait dengan pertanyaan, mengapa orang-orang berkuasa beralih menjadi pendukung suatu pemerintahan atau golongan apabila tidak disertai dengan tujuan tertentu, mengesampingkan akan adanya persamaan persepsi ataupun tidak? Kita akan melihat bagaimana orang-orang ini akan saling memberi keuntungan satu sama lain, dan bagaimanapun akan ada pihak dibalik layar yang akan berfungsi sebagai pengontrol dari tindakan seseorang yang mendapat atensi dari masyarakat lainnya. Dan apabila benar, ada sekumpulan orang-orang tertentu yang tidak menginginkan untuk mengotori tangan mereka secara langsung. 

Oleh karenanya, mereka memanfaatkan orang lain sebagai boneka yang akan menerima segala perhatian baik berupa pujian ataupun kesalahan. Ini adalah bagaimana mereka memainkan politik yang terkesan kotor untuk mencapai tujuan mereka. Mengingat kembali pada saat Jokowi mencalonkan diri sebagai Gubernur Jakarta, yang mana telah berhasil menyedot perhatian rakyat akan pribadinya ramah. 

Simpatisan yang ia peroleh pun tidak perlu diragukan kembali terlebih pada saat diumumkan sebagai calon presiden dibawah naungan PDIP dan bahkan memberikan coattail effect bagi partai tersebut. Image baik dan perhatian masyarakat yang terfokus ada Jokowi tentulah dimanfaatkan dengan sangat baik oleh para pendukungnya bahkan ketika mampu untuk menduduki kursi kepresidenan pada periode kedua kali ini. 

Namun, adanya penolakan Jokowi atas mosi jabatan tiga periode setidaknya akan mengantarkan kita pada ketenangan sementara, yang mana pada kenyataannya masih ada kurun waktu kurang lebih 3 tahun lagi sebelum pemilu kembali diselenggarakan. Kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi pada masa-masa tersebut, apakah Indonesia akan kembali mengulang sejarah dengan masa jabatan presiden yang panjang atau tidak.

Opini ini Hasil Pemikiran Sejumlah Mahasiswa Kampus Universitas Mataram (Unram) Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial Politik
 yang dirangkum dalam satu tulisan.

Annisa Husnul Khotimah
ALDAFA SATYA MAHADIKA
Alfina Damayanti
Amanullah Zaki
Alfi Putri Mulada