Foto: Anggota DPRD NTB Nadirah Al-Habsyi.
MEDIA insan cita (inciNews.net) Mataram- Wacana reformasi pajak kembali menghangat setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) resmi menerbitkan fatwa tentang Pajak Berkeadilan. Fatwa ini langsung menuai respons positif dari Anggota DPRD NTB sekaligus Ketua DPW Partai Bulan Bintang (PBB) NTB, Nadirah Al-Habsyi, Kamis (27/11/2025), yang menilai ketetapan tersebut menyentuh nurani Rakyat dan memberi arah baru bagi kebijakan Fiskal yang lebih Manusiawi.
Dalam penjelasannya, Nadirah Al-Habsyi menegaskan bahwa MUI telah mengatur Tiga jenis Pajak yang Haram dipungut, karena dinilai bertentangan dengan Prinsip Keadilan, Kemaslahatan, dan Perlindungan terhadap Masyarakat kecil.
1. Pajak atas Kebutuhan Primer Haram Dipungut
MUI menilai barang kebutuhan pokok seperti sembako tidak boleh dibebani pajak apa pun, karena termasuk kebutuhan dasar yang menjadi hak setiap warga negara.
“Jika sembako masih dipajak, berarti Negara secara tidak langsung membebani perut rakyat kecil. Itu tidak adil, dan MUI sangat tegas soal itu,” ujar Nadirah Al-Habsyi
2. Pajak Berulang atas Bumi dan Bangunan, Diharamkan untuk Hunian Masyarakat
Bumi dan Bangunan yang dihuni untuk kebutuhan pribadi dan bukan untuk kepentingan komersial tidak boleh dikenakan Pajak Berulang setiap tahun.
“Masyarakat sudah membeli tanah dan membangun rumah menggunakan biaya sendiri. Maka tidak adil jika setiap tahun kembali dipungut pajak hanya untuk bisa tinggal di rumahnya sendiri,” jelasnya.
3. Pajak yang tidak adil dan tidak sesuai kemampuan masyarakat, fatwa MUI Haram
Setiap pungutan pajak yang tidak mempertimbangkan kemampuan finansial warga atau tidak dialokasikan untuk kepentingan mereka yang membutuhkan, dinilai tidak sah secara syariah.
“Ini mengoreksi praktik pungutan yang memberatkan rakyat. Pajak harus diarahkan untuk keadilan sosial, bukan sekadar pemasukan negara,” tegasnya.
MUI juga menegaskan bahwa pajak penghasilan hanya boleh dikenakan kepada warga yang memiliki kemampuan finansial minimal setara dengan nisab zakat mal, yaitu 85 gram emas.
Ketentuan ini, menurut Nadirah Al-Habsyi yang juga istri dari Sekwil GP Ansor NTB Arman Anwar, menunjukkan konsistensi MUI dalam menyelaraskan prinsip syariah dengan keadilan ekonomi.
“Jika kemampuan finansial di bawah nisab, maka tidak boleh dipajaki. Negara harus memperhatikan batas minimum ini agar tidak menggerus pendapatan masyarakat kecil,” katanya.
Nadirah Al-Habsyi menyampaikan penghargaan mendalam terhadap MUI karena berani mengeluarkan fatwa yang langsung menyentuh kebutuhan masyarakat luas.
“Saya memberikan apresiasi yang sangat tinggi. Fatwa ini bukan hanya panduan moral, tetapi tamparan halus bagi pemerintah agar menata ulang sistem perpajakan secara lebih adil, transparan, dan berpihak pada rakyat,” ujarnya.
Ia berharap pemerintah Pusat hingga Daerah menjadikan Fatwa ini sebagai refleksi serius untuk Evaluasi kebijakan Fiskal, terutama dalam isu pemajakan terhadap Kelompok Rentan dan Ekonomi Kecil.
