Incinews.net
Rabu, 18 Desember 2019, 22.39 WIB
Last Updated 2019-12-18T14:39:18Z
HeadlineOpini

Kesepakatan Bukanlah Hukum Pilkades !

Advo Arief : Merupakan Advokat, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yustisio Bima adalah "Pemerhati Hukum dan Demokrasi"

Sebuah Perspektif Kritis Usai Pelaksanaan Pilkades Serentak 2019

Penyelenggaraan Pilkades Serentak pada 82 Desa di Kabupaten Bima 16 Desember 2019, merupakan hajat publik yang melibatkan banyak orang dan karenanya wajib kita tempatkan sebagai sebuah pesta demokrasi yang mestinya membahagiakan semua orang sebagaimana lazimnya sebuah pesta. Tentu, selama pesta tersebut berlangsung kita tak ingin pesta itu tercederai oleh hal-hal yang menurunkan bobot demokrasi lokal mengalami distorsi karena pengabaian atas aturan main yang menjadi pijakan kompetisi yang dihelat oleh Tim Pelaksana/Panitia Pemilihan. Sehingga menyebabkan kepastian hukum atas proses Pilkades tidak terjamin dan trust publik hilang. Hal ini penting dalam kerangka menghindari munculnya perselisihan dan sengketa selama dan dalam pelaksanaannya.

Seperti yang kita tahu, Pilkades Serentak merupakan amanat Pasal 31 ayat (1) UNDANG-UNDANG No. 6 Thn 2014 tentang Desa, yang berbunyi "Pemilihan Kepala Desa dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Kabupaten/Kota." Sedangkan Pemilih-nya diatur dalam Pasal 34 ayat (1) yang menyebutkan "Kepala Desa dipilih langsung oleh penduduk Desa." 

Ketentuan lebih-lanjut mengenai Pilkades Serentak, diatur dengan PERATURAN PEMERINTAH No. 43 Thn 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 6 Thn 2014 tentang Desa, sebagaimana diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah No. 11 Thn 2019 tentang Perubahan Kedua Peraturan Pemerintah No. 43 Thn 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 6 Thn 2014 tentang Desa.

Selanjutnya mengenai pengaturan teknis pelaksanaan Pilkades Serentak yang bersifat LUBER dan JURDIL itu, dapat kita simak dalam Pasal 2 dan Pasal 3 PERMENDAGRI No.112 Thn 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa, sebagaimana diubah dengan Permendagri No. 65 Thn 2017 tentang perubahan atas Permendagri No.112 Thn 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa. Dimana pasal-pasal itu berbunyi:

Pasal 2
Pemilihan Kepala Desa dilakukan secara serentak satu kali atau dapat bergelombang.

Pasal 3
Pemilihan Kepala Desa satu kali sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 dilaksanakan pada hari yang sama di seluruh Desa pada wilayah Kabupaten/Kota.

Senada dengan Permendagri diatas, khusus di Kabupaten Bima pelaksanaan Pilkades Serentak 2019, mendasarkan pada PERATURAN BUPATI No. 24 Thn 2019 tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, Pengangkatan, Pelantikan, Dan Pemberhentian Kepala Desa. Sebagaimana Pasal 2 ayat (1) & ayat (2) yang menyebutkan:

Ayat (1) "Pemilihan Kepala Desa dilakukan secara serentak satu kali atau dapat bergelombang."

Ayat (2) "Pemilihan Kepala Desa satu kali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada hari yang sama di seluruh Desa pada wilayah Kabupaten."

Selain daripada itu, Bupati 
Bima melalui SURAT KEPUTUSAN No.148.45/522/06.16 TAHUN 2019 tentang Tahapan Kegiatan Pemilihan Kepala Desa Serentak Secara Bergelombang Dalam Kabupaten Bima Tahun 2019. Telah pula tersusun sedemikian rupa tahapan-tahapan kegiatan yang akan dilakukan oleh Tim Pelaksana Pemilihan/Panitia Pemilihan. Maka, lengkap-lah sudah tata aturan (regulasi) yang mengatur dan menaungi proses Pilkades Serentak itu.

Pungut-Hitung Mestinya Sehari

Tim Pelaksana Pemilihan/Panitia Pemilihan, selain menyelesaikan tahap demi tahap jalannya Pilkades yaitu sejak masa persiapan, pelaksanaan, pemungutan dan penghitungan suara, hingga tahap akhir penetapan. Dimana, pada tahap ini yakni pra Pemungutan dan Penghitungan suara ini, Panitia Pemilihan mempunyai tugas menentukan Lokasi dan Jumlah TPS dengan mempertimbangkan jumlah Pemilih dan sebarannya dalam wilayah Desa-nya.

Menariknya, dalam aturan-aturan yang uraikan diatas, apabila Daftar Pemilih Tetap (DPT) suatu Desa jumlahnya banyak dan sebarannya luas, yang memerlukan lebih dari 1 (satu) TPS. Maka Panitia Pemilihan dapat memfasilitasi penyediaan TPS sebanyak yang diperlukan, untuk memastikan keterjangkauan dan kemudahan bagi Pemilih dengan maksud agar ada efektifitas waktu. Mengenai hal ini, PERATURAN BUPATI BIMA No. 24 THN 2019, memberi ruang (space) bagi Tim Pelaksana Pemilihan/Panitia Pemilihan untuk mempertimbangkan akan kebutuhan jumlah TPS. Bahkan, menyangkut ketersedian personil kepanitiaan dapat pula dibantu atau melibatkan unsur RT/RW, yang diangkat dan ditetapkan oleh Panitia Pemilihan. Sebagaimana ketentuan Pasal 19 "(PERBUP. 24/2019)" yang menjadi sumber rujukan.

Lalu mengapa, langkah menyiapkan lebih dari 1 (satu) TPS ini, menjadi penting dan urgent? Selain menjamin keterjangkauan dan mengingat jumlah dan sebaran Pemilih yang terdaftar, juga menyangkut efisiensi waktu yang terbatas itu. Oleh karena rapat Pemungutan dan Penghitungan suara, dibatasi CUMA SATU HARI, sebagaimana yang tercantum dalam Lampiran SK Bupati Bima No. 522 Thn 2019 tentang Tahapan Kegiatan Pilkades yang menyebutkan Hari/Tanggal pelaksanaan Pilkades ditetapkan pada  SENIN 16 Desember 2019. Penetapan ini didasarkan pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 62 ayat (1), (2), dan ayat (3) serta Pasal 73 ayat (1) "(PERBUP 24 THN 2019)" yang menjadi landasan teknis-operasional pelaksanaan Pilkades yang menyebutkan:

Pasal 62
Ayat (1) "rapat Pemungutan dan Penghitungan suara dilakukan dalam waktu yang bersamaan untuk semua desa pada hari yang ditentukan."

Ayat (2) "rapat Pemungutan suara dilakukan mulai pukul 07.00 Wita sampai dengan pukul 13.30 Wita dan dapat diperpanjang sampai pukul 16.30 Wita apabila terdapat banyak Pemilih yang belum memberikan hak suara."

Ayat (3) "Pukul 16.30 Wita panitia harus menutup rapat Pemungutan Suara dan hanya boleh memberikan kesempatan untuk memberikan hak pilih kepada Pemilih yang sudah mendaftarkan atau melaporkan namanya kepada Panitia."

Seiring dengan itu, juga ketentuan Pasal 73 ayat (1) berbunyi "setelah semua Pemilih yang hadir memberikan hak pilih atau setelah waktu menunjukkan Pukul 16.30 Wita sebagaimana dimaksud Pasal 62 ayat (3) panitia mengumumkan kepada semua yang hadir di TPS bahwa rapat Pemungutan suara telah selesai dan ditutup."

Mencermati ketentuan Pasal 62 ayat (3) diatas, bahwa waktu Pukul 16.30 Wita adalah batasan akhir dari rapat Pemungutan suara. Artinya Pemilih yang hendak mendaftarkan diri di TPS, tidak lagi diberikan kesempatan untuk memberikan hak pilih. Pengecualian, kepada para Pemilih yang sebelum Pukul 16.30 Wita, telah hadir dan mendaftarkan dirinya dihadapan Panitia Pemilihan. Maka, andai-pun proses Pemungutan suara ternyata berjalan hingga pukul 24.00 Wita, dan dilanjutkan dengan rapat Penghitungan suara, maka hal itu haruslah dianggap masuk pada logika Pasal 62 ayat (1) yakni kalimat "hari yang sama, yang ditentukan." Sehingga lazim terjadi, termasuk dalam konteks demokrasi yang lebih luas seperti dalam Pilkada dan Pemilu.

Bagaimana dengan kondisi masih terdapat Pemilih yang belum memberikan hak pilihnya pada hari dan waktu yang telah ditentukan sebagaimana yang terjadi pada pelaksanaan Pilkades Ngali misalnya? Jawabannya, tentu saja hal itu menjadi resiko dari proses yang dijalankan oleh Panitia Pemilihan. Itu sebabnya mengapa peraturan perundang-undangan memberi ruang kepada Panitia Pemilihan untuk menyiapkan TPS lebih dari satu, untuk mengakomodir kendala-kendala yang potensial muncul dalam pelaksanaan. Itu pula alasannya mengapa jajaran RT/RW, juga dapat dilibatkan menjadi bagian dari Panitia Pemilihan yang menyelenggarakan Pilkades.

Lalu Dimana Posisi Kesepakatan?

Hemat penulis, tidak pada tempatnya apabila ada Panitia Pemilihan, mendorong Calon Kepala Desa untuk membuat "KESEPAKATAN" dengan maksud menyepakati perihal menyangkut teknis, yang diposisikan seolah aturan baku yang diberlakukan dan ditaati. Sebabnya jelas bahwa aturan perundang-undangan itu clear dibuat oleh Pemerintah dan ditegakkan oleh Tim Pelaksana Pemilihan/Panitia Pemilihan sebagai wasit/fasilitator selama kompetisi berjalan. Tegasnya, mengenai aturan Pilkades merupakan domain-nya Pemerintah Daerah yang diberlakukan oleh Tim Pelaksana Pemilihan/Panitia Pemilihan. Tidak dapat dibenarkan jalannya proses pungut-hitung atas dalih "Kesepakatan Calon" apalagi  menempatkan kesepakatan itu sebagai hukum yang mesti ditaati. Pilkades adalah ranah hukum publik, itu sebabnya pelaksanaan Pilkades diatur secara terperinci dengan aturan perundang-undangan dan pemberlakuannya sejak diundangkannya aturan tersebut.

Hal inilah kemudian yang menjadi sorotan utama penulis, dalam konteks Pilkades Serentak ini, yaitu terhadap fakta proses pelaksanaan rapat Pemungutan suara dan sebagai contoh Pilkades Ngali Kecamatan Belo Kabupaten Bima misalnya, yang diikuti oleh 5 (lima) orang Calon; dengan jumlah Pemilih lebih dari 5 (lima) ribu orang; yang terdiri atas 5 (lima) Dusun yakni Dusun Radebari, Dusun Benteng, Dusun Kabuju, Dusun Sigi, dan Dusun Lewi. Dimana, dalam pelaksanaannya berjalan hanya dengan 1 (satu) Tempat Pemungutan Suara (TPS). Sehingga pada hari yang ditetapkan, rapat Pemungutan suara  berlangsung hingga Pukul 17.30 Wita, dari batas toleransi waktu Pukul 16.30 Wita, sebagaimana ketentuan regulasi yang telah penulis uraikan diatas.

Hari pertama, Pemilih yang hadir memberikan hak pilihnya di TPS itu, diperkirakan baru separoh dari jumlah Pemilih yang terdaftar Daftar Pemilih Tetap (DPT). Kondisi itu kemudian mendorong Panitia Pemilihan mengajak Para Calon Kades untuk menyepakati jika rapat Pemungutan suara akan dihentikan sampai jelang waktu Salat Magrib. Kemudian kegiatan rapat Pemungutan suara, dilanjutkan keesokkan hari-nya, yaitu SELASA tanggal 17 Desember 2019, sore baru dapat diselesaikan. Penundaan kembali dilakukan untuk melaksanakan rapat Penghitungan suara pada Rabu 18 Desember 2019.

Tanpa bermaksud mendelegitimasi hasil proses Pilkades di Desa tersebut. Akan tetapi, jika perspektif yang kita gunakan tentang waktu dengan mendasarkan SK Bupati Bima No. 522 Thn 2019 tentang Tahapan Kegiatan Pilkades; maupun ketentuan Pasal 62 ayat (1), (2), dan ayat (3) serta Pasal 73 ayat (1) PERBUP No. 24 THN 2019, sebagai landasan teknis-operasional pelaksanaan Pilkades Serentak 2019. Rapat lanjutan Pemungutan suara diluar hari yang ditetapkan sebagaimana yang terjadi di Ngali, tidak memenuhi ketentuan dan tata-cara yang berlaku sebagai pedoman pelaksanaan Pilkades Serentak. Karenanya pelaksanaan Pilkades di Ngali khususnya menjadi patut dinyatakan "cacat proses" mengingat aturan yang ada.

Pendapat penulis, pelanggaran atas tata-cara itu, potensial menyebabkan tidak kredibelnya proses dan hasil daripada Pilkades itu sendiri. Pada saat yang sama, makna keserentakan Pilkades menjadi tidak relevan untuk konteks Pilkades Ngali, mengingat adanya rangkaian proses pelaksanaan yang terputus-putus. Apalagi jika kita mencermati Pasal 74 ayat (1) PERBUP No. 24 Thn 2019 menyebutkan "rapat Penghitungan suara segera setelah selesai Pemungutan suara dan dilakukan ditempat Pemungutan suara." Artinya, bahwa antara Pemungutan dan Penghitungan suara harus dilakukan pada hari yang sama, yang telah ditentukan yaitu SENIN tanggal 16 Desember 2019 termasuk didalamnya Penetapan Calon Terpilih.

Karena itu, sudah seyogya-nya aturan dibuat untuk ditegakkan, bukan untuk disiasati apalagi dilanggar. Peristiwa ini, menyiratkan betapa pentingnya Demokrasi berupa Pemilihan Langsung itu dilaksanakan secara LUBER dan JURDIL. Juga yang paling utama adalah kemandirian Panitia Pemilihan, dan kepatuhan akan Pakta Integritas sebagaimana diamanahkan Pasal 20 "(PERBUP No. 24 Thn 2019)" sehingga seluruh proses maupun hasilnya dapat dikatakan akuntabel dan berintegritas.

Seraya melakukan evaluasi komprehensif tata-aturan/tata-laksana Pilkades Serentak oleh pemangku kepentingan (stakeholder). Pilkades Ngali merupakan deskripsi nyata betapa keandalan Tim Pelaksana Pemilihan, dalam memantapkan Panitia Pemilihan dengan sosialisasi regulasi dan simulasi teknis Pemungutan dan Penghitungan Suara (Tungsura) yang berdasarkan rujukan hukum pelaksanaan Pilkades Serentak 2019 di Kabupaten Bima jauh dari harapan dan menjadi patut untuk dipertanyakan. Wallahu'alam.