Muhammad Rizal Ansari
Ketua Umum SEMMI NTB, Periode 2025-2027
Mataram, Incinews,Net- Di tengah gegap gempita perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80, publik dikejutkan oleh pemandangan tak biasa: bendera bajak laut dari serial One Piece berkibar di sejumlah titik wilayah Indonesia, termasuk di Nusa Tenggara Barat (NTB). Tindakan ini segera memantik kontroversi, dari yang menganggapnya lelucon hingga yang mengecamnya sebagai tindakan makar.
Namun di balik kontroversi itu, Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (SEMMI) Wilayah NTB memiliki sudut pandang yang berbeda. Mereka menilai pengibaran bendera fiksi tersebut bukanlah sekadar pelanggaran aturan, melainkan ekspresi politik dari keresahan publik yang makin kehilangan kepercayaan pada negara.
"Ini bukan sekadar soal budaya pop kebablasan. Ini ekspresi simbolik dari rakyat yang merasa ditinggalkan oleh negaranya," ujar Koordinator SEMMI NTB dalam pernyataan resminya.
SEMMI NTB menggunakan pendekatan teori kontrak sosial untuk menjelaskan fenomena ini. Dalam teori tersebut, negara berdiri atas dasar konsensus rakyat, dengan janji menegakkan keadilan, menyediakan kesejahteraan, dan menjaga kebebasan sipil. Namun ketika janji itu tak ditepati, di tengah maraknya korupsi, ketimpangan ekonomi, dan ketidakadilan hukum, maka kepercayaan terhadap negara pun mulai luntur.
Di ruang kekosongan itulah, menurut SEMMI, simbol-simbol alternatif seperti bendera One Piece mengambil tempat. Di dunia fiksi, bendera ini adalah simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan tirani. Di dunia nyata, ia menjadi metafora harapan dan perlawanan dari mereka yang merasa terpinggirkan.
“Ketika bendera bajak laut lebih dipercaya mewakili semangat keadilan ketimbang simbol negara sendiri, itu adalah sinyal yang sangat serius,” tegas pernyataan SEMMI NTB.
Menuduh pengibar bendera One Piece sebagai pelaku makar, bagi SEMMI, merupakan bentuk kegagalan negara membaca gejala sosial. Negara semestinya tidak reaksioner, melainkan reflektif. Represi terhadap ekspresi justru bisa menjadi bumerang yang membakar jembatan dialog antara rakyat dan pemerintah.
SEMMI NTB pun menegaskan tiga poin penting:
1. Pengibaran simbol alternatif adalah bentuk ekspresi sosial, bukan tindakan makar.
2. Negara harus membaca gejala ini sebagai kritik mendalam, bukan ancaman.
3. Penindasan terhadap simbol hanyalah mempercepat meledaknya aspirasi publik yang lebih luas.
Momentum peringatan kemerdekaan seharusnya menjadi ruang kontemplasi, bukan hanya selebrasi. Jika simbol-simbol negara kehilangan maknanya, maka rakyat,secara sadar atau tidak akan menciptakan simbol mereka sendiri. Dan ketika simbol itu berasal dari dunia fiksi, namun terasa lebih relevan dari realitas, maka pertanyaannya bukan lagi “siapa yang salah”, melainkan “apa yang sedang terjadi ?”
“Merdeka bukan hanya soal tanggal 17 Agustus. Merdeka adalah keberanian untuk mengoreksi arah bangsa,” tutup SEMMI NTB.