Bima, Incinews,Net- Sebuah dokumen yang beredar luas di tengah masyarakat Media Sosial Facebook,memunculkan keprihatinan publik atas dugaan campur tangan partai politik dalam pengusulan jabatan struktural Eselon II di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bima. Dokumen tersebut secara eksplisit memuat logo Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dengan kop “Rumah Sekretariat Koalisi PAN dan PKS” serta judul “Usulan Pejabat Struktural Eselon II Kecamatan Monta Kabupaten Bima Tahun 2025”.
Keterlibatan partai politik dalam urusan teknokratis birokrasi ini menuai kritik keras dari berbagai kalangan, terutama dari praktisi hukum dan Penggiat Media Sosial. Salah satunya datang dari Taufiqurrahman, SH, praktisi hukum di Bima, yang menyebut bahwa tindakan semacam ini merupakan bentuk penyimpangan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan pelanggaran atas norma hukum kepegawaian di Indonesia.
“Ini mencederai netralitas ASN dan melecehkan fungsi kelembagaan seperti BAPERJAKAT. Partai politik tidak punya kewenangan mengusulkan pejabat struktural. Ini bentuk intervensi yang berbahaya dan bertentangan dengan Undang-Undang ASN,” ujar Taufiqurrahman, SH, Kamis (19/6/2025).
Analisis Hukum: Campur Tangan Politik = Cacat Prosedur
Merujuk pada UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, pengangkatan pejabat tinggi pratama (Eselon II) harus dilakukan melalui mekanisme seleksi terbuka yang bebas dari tekanan politik, dan melibatkan panitia seleksi independen serta BAPERJAKAT. Adanya dokumen usulan dari partai politik koalisi kepala daerah ini justru menjadi preseden buruk dalam sistem meritokrasi birokrasi daerah.
“Partai politik seharusnya menjalankan fungsi legislasi, bukan mencampuri urusan teknis struktural pemerintahan. Kalau ini dibiarkan, maka ASN tidak lagi bekerja berdasarkan kinerja, tetapi loyalitas politik. Ini sangat berbahaya bagi demokrasi lokal,” tegas Taufiqurrahman.
Potensi Pelanggaran Etik dan Hukum
Selain melanggar UU ASN, praktik semacam ini bisa berpotensi menjadi pelanggaran etika berat oleh kepala daerah jika terbukti menyetujui atau bahkan meminta usulan partai koalisi. Apalagi, berdasarkan Permenpan RB Nomor 15 Tahun 2019, setiap proses pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) harus melalui uji kompetensi berbasis sistem merit dan terverifikasi oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).
Desakan Transparansi dan Investigasi
Menyikapi hal ini, publik mendesak agar Inspektorat Daerah, Ombudsman, dan KASN segera melakukan klarifikasi dan investigasi mendalam. Selain itu, DPRD Kabupaten Bima diminta untuk menjalankan fungsi pengawasan terhadap praktik-praktik birokrasi yang berpotensi sarat kepentingan politik.
“Kita tidak ingin ASN jadi korban politik praktis. Jika praktik ini dibiarkan, maka birokrasi akan kehilangan independensinya dan hanya menjadi alat kekuasaan,” tegas Taufiqurrahman lagi.
Penutup
Kontroversi ini mencerminkan masalah struktural yang lebih dalam: lemahnya batas antara fungsi politik dan administrasi di tingkat daerah. Dalam demokrasi yang sehat, partai politik seharusnya mendorong transparansi, bukan justru memperkuat intervensi dalam tubuh birokrasi.
Dokumen ini kini menjadi bukti penting yang dapat menjadi pintu masuk pengungkapan potensi pelanggaran etika pemerintahan di Kabupaten Bima