Bima, Incinews.net – Di tengah riuh wacana nasional soal polarisasi sosial dan menguatnya politik identitas, sekelompok mahasiswa justru menemukan wajah Indonesia yang ramah, damai, dan terbuka di sebuah dusun kecil bernama Tolonggeru, Desa Monggo, Kabupaten Bima.
Sebanyak 18 mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah STKIP Taman Siswa Bima, yang terdiri dari 9 laki-laki dan 9 perempuan, menggelar Kuliah Kerja Lapangan (KKL) bertema “Merawat Toleransi – Menjaga Harmoni” pada Rabu, 18 Juni 2025. Yang didampingi oleh Dosenya Edy Suparjan,S.Pd.M.Pd, Mereka tidak sekadar melakukan kunjungan ilmiah, tetapi menyelami denyut kehidupan masyarakat yang hidup berdampingan di atas fondasi nilai-nilai sosial yang kuat—sebuah praktik toleransi yang tidak diajarkan di ruang kelas, tetapi diwariskan dari pengalaman hidup kolektif warga.
Dalam kegiatan ini, para mahasiswa mewawancarai 25 tokoh lintas agama dan sosial: mulai dari Romo gereja, Kiai masjid, kepala dusun, hingga ibu-ibu rumah tangga yang aktif dalam kegiatan sosial lintas iman. Semua membuka ruang cerita tentang bagaimana dusun kecil ini mampu menjaga harmoni di tengah perbedaan.
“Dusun Tolonggeru adalah cermin sosial dari kekuatan kultural masyarakat lokal dalam membendung sektarianisme,” ujar Gaffar Hidayat, M.Pd., dosen pendamping kegiatan. “Di sini, modal sosial seperti kepercayaan, jaringan, dan nilai gotong royong hidup sebagai praktik sosial, bukan jargon seminar.”
Sosiolog Emile Durkheim pernah menyebut bahwa solidaritas sosial tumbuh bukan hanya dari kesamaan, tetapi justru dari kemampuan mengelola perbedaan dalam struktur sosial yang kohesif.
Dusun Tolonggeru menunjukkan bentuk nyata dari teori itu. Bahwa kerukunan tidak hadir karena tiadanya konflik, melainkan karena adanya mekanisme sosial yang aktif: dialog, penghormatan timbal balik, dan pengalaman hidup bersama yang panjang.
Ketua kelompok mahasiswa, Reza, mengaku terkesan dengan pengalaman ini. “Kami pertama kali datang ke dusun ini, dan kami justru belajar bagaimana toleransi tidak sekadar diskursus, tapi kenyataan hidup. Mereka tidak hanya bertoleransi, tapi saling memperkuat,” tuturnya.
Menariknya, mahasiswa telah dibekali sejak awal dengan pedoman wawancara dan etika komunikasi masyarakat multikultur. Mereka tidak datang sebagai peneliti dari luar, tetapi mencoba menjadi bagian dari masyarakat setempat. Mereka menyerap, mendengar, dan memahami, bukan menghakimi atau menggurui.
Hasil kegiatan ini tak akan berhenti pada laporan akhir semata. Para mahasiswa akan memproduksi video dokumenter yang akan didaftarkan sebagai Hak Kekayaan Intelektual (HKI), dan menyusun naskah ilmiah untuk dipublikasikan di jurnal SINTA 2.
Kaprodi Pendidikan Sejarah, Syahbuddin, M.Pd., menegaskan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari komitmen kampus dalam membangun sensitivitas sosial mahasiswa. “Kami tidak hanya mendidik guru sejarah, tapi juga aktor sosial yang mampu membaca dinamika kebangsaan dari akar rumput.”
Dusun Tolonggeru hari ini mungkin tidak masuk dalam headline nasional, tetapi dari sinilah Indonesia belajar bagaimana harmoni dapat dirawat tanpa perlu semboyan besar. Di tempat kecil ini, toleransi bukan proyek politik—melainkan napas sehari-hari.