Kota Bima, Incinews,Net- Di tengah harapan akan ketersediaan air bersih yang merata, muncul gelombang penolakan dari jantung masyarakat. Warga Kelurahan Penatoi dan Kelurahan Rite, Kecamatan Mpunda, Kota Bima, menyuarakan keresahan mereka terhadap proyek pemboran air tanah yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Bima. Kekhawatiran akan dampak lingkungan dan keberlangsungan sumber air membuat warga memilih untuk berdiri di sisi kehati-hatian, bahkan jika itu berarti menentang rencana pembangunan yang diklaim demi kepentingan bersama.
Proyek yang dikerjakan oleh CV. Amel Sayang itu berada tepat di tengah permukiman padat, yakni di RT 11 RW 03 Kelurahan Penatoi—lokasi yang bagi warga memiliki nilai ekologis dan sosial tersendiri. Mereka pun menginisiasi penandatanganan surat penolakan sebagai bentuk sikap kolektif yang lahir dari rasa tanggung jawab terhadap lingkungan hidup di sekitar mereka.
“Kami tidak menolak air bersih, tapi kami takut kehilangan sumber kehidupan kami sendiri. Bagaimana jika pemboran ini justru menyebabkan kekeringan? Siapa yang bisa menjamin?” ungkap salah satu warga dengan nada gusar.
Penolakan ini bukanlah sekadar ketakutan irasional. Di mata warga, proyek pemboran yang menyasar kedalaman 90 meter tersebut berisiko mengganggu keseimbangan air tanah lokal. Meski pemerintah meyakinkan bahwa debit air yang diambil berasal dari lapisan dalam yang tak berhubungan langsung dengan mata air permukaan, warga tetap menuntut kehati-hatian dan transparansi.
Kepala Bidang Cipta Karya Dinas PUPR Kota Bima, Syahwan, ST, MT, mengakui adanya penolakan dari masyarakat. Namun menurutnya, reaksi semacam itu adalah hal yang wajar dalam setiap pembangunan infrastruktur publik.
“Kami memahami keresahan warga. Maka dari itu, titik pemboran telah kami geser dari lokasi awal, walaupun tidak terlalu jauh, sebagai bentuk respons terhadap aspirasi masyarakat,” jelas Syahwan dalam keterangannya, Selasa (17/6).
Ia menambahkan, lokasi tersebut berada di atas tanah milik SMPN 8 Kota Bima dan telah melalui kajian teknis serta pertimbangan aspek lingkungan. Proyek ini juga didanai melalui Dana Alokasi Umum (DAU) yang dikhususkan untuk penguatan akses air bersih bagi masyarakat.
“Kami pastikan, pemboran ini tidak mengganggu lapisan air tanah lokal. Proyek ini justru untuk kepentingan kemaslahatan, agar air bersih tersedia secara merata, termasuk bagi warga Penatoi sendiri,” tegasnya.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah: mengapa kekhawatiran warga baru muncul ketika pelaksanaan dimulai? Menurut Syahwan, sebelum proses tender, pihaknya tidak menerima adanya penolakan dari jajaran kelurahan.
Narasi ini memunculkan dilema sosial: antara kebijakan publik yang menjanjikan kemaslahatan dan suara masyarakat yang mengedepankan prinsip kehati-hatian atas nama kelestarian. Ketegangan semacam ini menggambarkan bahwa pembangunan tidak bisa hanya berbicara dalam bahasa teknis dan anggaran, namun harus menyentuh sisi humanis dan partisipatif masyarakat.
Warga Penatoi bukan menolak pembangunan, mereka hanya ingin didengar. Suara mereka adalah cermin bahwa pembangunan sejati adalah yang tumbuh dari akar, bukan yang sekadar ditanam dari atas.