Incinews.net
Selasa, 24 Januari 2023, 20.03 WIB
Last Updated 2023-01-24T12:09:27Z
NTB

Gairah Korupsi Pengadaan Kapal Kayu "Bima Ramah"

Foto: Penulis.


Oleh: Satria Tesa, S.H (Direktur Madisa Institut).
__

Dugaan korupsi Pengadaan 4 Kapal Kayu senilai 3,9 Miliar di Dinas Perhubungan (Dishub) "Bima Ramah" tahun 2021 telah memasuki babak baru. Diawal tahun 2023, Ditreskrimsus Polda NTB telah menggulirkan perintah Penyidikan, setelah memulai Penyelidikan pada Mei 2022 lalu.

Progresifnya Ditreskrimsus Polda NTB dibawah asuhan Kombes Nasrun Pasaribu menangani kasus tersebut harus diapresiasi. Bagaimana tidak, dalam kurun waktu sekitar 8 Bulan, bisa menuntaskan proses Penyelidikan yang fungsi utamanya mencari dan menemukan peristiwa hukum. Fakta bahwa Polisi memulai Penyidikan tentu didasari "bukti permulaan" atau "bukti yang cukup" untuk menemukan tindak pidana dan tersangkanya.

Penanganan kasus ini oleh Polisi tentu berdasarkan temuan BPKP NTB (LHP 2022)  yang mengungkap sejumlah fakta bahwa: jaminan pemeliharaan tidak sesuai kontrak, pembayaran termin II dan III tidak sesuai kontrak, keterlambatan penyelesaian pekerjaan, kekurangan volume pekerjaan dan pekerjaan tidak sesuai spesifikasi. Atas dasar inilah, kerugian negara dari proyek ini, mencapai 500 Juta. Memahami fakta ini tentu publik harus optimis, Polisi bisa menuntaskan pengusutan. Jika berjalan normal, Polisi tidak akan memerlukan waktu setahun untuk menetapkan Tersangka dan melimpahkan proses perkara pada Kejaksaan Tinggi Mataram. 

Tentu saja, jika tidak normal, kasus tersebut sangat potensial "mengendap" lalu "karam" di kantor Polisi. Sebagaimana mengendap kasus korupsi lainnya.

Melampuai Kecenderungan Umum

Tentu saja, menjadi urusan APH tuntas atau tidaknya penanganan kasus pengadaan 4 Kapal Kayu tersebut. Kita percaya APH, mau berbenah memperbaiki kinerja, memulihkan nama baik dan meyakinkan rakyat, bahwa dalam situasi genting KKN, mereka dapat diandalkan. 

Penulis, ingin memahami kasus ini dari perspektif lain. Pertanyaan yang harus kita ajukan adalah, mungkinkah, kasus tersebut  terkait dan berkaitan dengan eks Kadishub Bima Syafrudin, Bupati Bima dan Edy Muhlis yang disebut "Singa Parlement" dalam peristiwa yang sempat menghebohkan publik; setahun lalu.

Penulis uraikan ulang kisah ringkasnya. Kisah ringkas ini diolah dari tulisan penulis September 2021 dan Juli 2022 yang sumbernya berbagai media massa.

"Bupati Bima, Hj. Indah Dhamayanti Putri, disebut menerima uang suap sebesar 275 juta untuk "memuluskan" pengerjaan proyek pengadaan 4 Kapal Bima 2020. Uang tersebut milik H. Aswad yang diduga disetor eks Kadishub, Syafrudin. H. Aswad berkepentingan tender pengadaan Kapal itu dikerjakan olehnya. Uang suap tersebut, diduga untuk mendanai Pilkada. Safrudin disebut menyetor uang 275 juta, dalam kurun waktu 2018, 2019 dan 2020." Ini subtansi pernyataan pers Edy Muhlis yang sempat menggemparkan Bima.

Dalam pelaksanaanya, H. Aswad tidak benar-benar memenangkan tender proyek tersebut. Dan merasa telah tipu. Menurut Edy Muhlis, pernyataannya, berdasarkan keterangan Syafrudin, setelah ia mengunjungi rumahnya. Menurutnya, mantan anak buah Bupati itu mengatakan bahwa benar dirinya menerima uang dari H. Aswad, namun uangnya diserahkan pada Bupati.

Dituntun Menjadi Misteri?

Apakah benar 275 juta itu mengalir sampai kantong bupati? 
Jika benar, Bupati menerima uang suap. Namun jika tidak benar, Edy Muchlis atau Syafrudin telah menyebarkan kebohongan. Kebohongan yang mencemarkan nama baik dan merusak harkat dan martabat Bupati.

Apapun itu faktanya, ada dugaan suap menyuap dan dugaan pencemaran nama baik. Dua-duanya sama-sama tindak pidana, yang sama-sama misterius. Tidak ada kebenaran, para pihak berebut jatah untuk klaim. Saya masih penasaran, siapa benar, siapa salah dalam kasus tersebut?

Fakta lainnya, pengadaan Kapal tersebut berdasarkan penelusuran penulis di LPSE Kabupaten Bima tendernya dimulai tahun 2018. Setelahnya dilakukan tender ulang, dan diselesaikan tahun 2021.

Sementara Bupati Bima, Hj. Indah Dhamayanti Putri dengan tegas membantah tudingan Edy Muchlis. Dia tidak pernah menerima uang 275 juta dari Syafrudin. Umi Dinda lantas menyebut tudingan anggota dewan itu sebagai fitnah yang tak berdasar juga tidak bisa dibuktikan. Dia sarankan diadukan pada APH.

Bupati pengusung visi "Bima Ramah" juga mengingatkan anggota dewan untuk mengkritik, tapi tidak dengan fitnah. "Fitnah itu mengusik kehidupan pemerintah dan keluarga saya. Demi Allah demi Rasul saya tidak pernah menerima uang sebanyak Rp 275 Juta itu," tegasnya. Bupati Bima bahkan telah melaporkan Edy Muhlis pada Polda NTB dengan sangkaan pencemaran nama baik. Ia juga pernah memberikan keterangan atas laporan tersebut.

Namun, laporan tersebut diduga telah dicabut. Terindikasi ada penyelesaian secara politis. Imbasnya, pembuktian siapa benar, siapa salah menjadi "mangkrak". Padahal jika dilanjutkan proses hukum, dugaan pencemaran nama baik itu, akan membuat terang kebenarannya. Demikian jika sebaliknya, membuat terang benderang kasus dugaan suap-menyuap akan membuat terang dugaan pencemaran nama baik tersebut. Lagi-lagi ini tetap jadi misteri. 

Saya tentu punya kepentingan, sengkarut persoalan tersebut bisa mendidik publik. Termasuk mendidik kepala daerah atau kepala pemerintahan untuk membela harkat martabat dirinya, daerah dan keluarganya. Tentu agar kehidupan berdaerah lebih edukatif. Bahwa tidak semua orang bisa asal menduga tanpa bisa melakukan verifikasi dan pembuktian atas dugaan tersebut.

Dimanapun KKN bertumbuh di Pemerintahan, pastilah "dipupuk" oleh dua kondisi. Pertama kondisi internal yang terindikasi "rapuh" atau dipinggirkan good and clean government atau asas pemerintahan yang baik dan bersih. Kedua kondisi eksternal, yang ditengarai lemahnya kontrol legislatif, publik dan penegakan hukum yang bisa "menjual-belikan" hukum.

Kita punya kepentingan KKN dibumi "Maja Labo Dahu" dan "Tohora Ndai Sura Dou Labo Dana" dibersihkan, untuk memajukan daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jangan sampai urusan KKN daerah cekatan, urusan bangun hak dasar rakyat terpinggirkan. Kita berharap Bupati Bima dan ketua DPRD Bima mengambil tanggungjawab sebagai Panglima perang melawan KKN yang bercokol didaerah.

Kita berharap kasus korupsi Kapal ini, bisa dapat dukungan moral bahkan dukungan politis pimpinan daerah, agar terus diprioritaskan Polda penangananya. Tentu saja, tidak "mangkrak"  atau "karam" sebagaimana "mangkrak" dan "karamnya" dugaan suap-menyuap dan pencemaran nama baik. Ini salah satu cara, mendamaikan "gairah" korupsi yang menyakiti "Dou Labo Dana".

-24 Januari 2023-