Incinews.net
Jumat, 30 Juli 2021, 17.34 WIB
Last Updated 2021-07-30T16:40:09Z
Lombok UtaraMataramNTB

Kejati Tegaskan Tetap Mendukung Upaya Gubernur NTB Untuk Akhiri Persoalan Aset di Gili Terawangan

Foto: Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB.

MEDia insan cita, Mataram: Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Provinsi NTB, Tomo Sitepu menegaskan mendukung penuh upaya dan langkah Gubernur NTB untuk menyelesaikan persoalan aset milik Pemrov. NTB di Gili Terawangan yang dikelola PT. GTI.

"Apalagi kami telah ditunjuk Gubernur Dr. H. Zulkieflimansyah sebagai jasa pengacara negara (JPN),"kata Kejati saat dampingi Gubernur pada rapat Fasilitasi Permasalahan Investasi antara Pemrov. NTB dan PT. Gili Trawangan Indah (GTI) yang digelar oleh Satgas Investasi, secara Virtual, Rabu (28/7/2021) Ruang Rapat Utama Kantor Gubernur.

Dijelaskan Tomo didepan Tim Satgas Investasi, ysng dipimpin Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM Imam Soejoedi, bahwa permasalahan perjanjian kontrak produksi antara Pemrov. NTB dan PT.GTI  sudah puluhan tahun tidak menemui titik terang.

Dari hasil kajian dan pengumpulan data dan informasi Tomo menceritakan bahwa awal mulanya persoalan ini adalah terkait hak guna usaha (HGU) di lahan seluas 75 Ha, yang dikuasai oleh orang tuanya Direktur PT. GTI Winoto di Gili Terawangan.

Pada era Gubernur Warsito saat itu, akhirnya setelah melihat potensi Gili Terawangan, maka disepakati akan dikembangankanlah sektor pariwisata antara Pemrov dan GTI. Walaupun lahan HGU yang dimiliki oleh PT.GTI ini dinilai kurang produktif dan sebagian dikuasai oleh masyarakat.

Akan tetapi rencana untuk mengembangkan pariwisata disepakati dengan syarat HGU yang dimiliki tadi diserahkan kepada Pemrov. NTB sebagai HPL. Nanti sebagai bentuk penyertaan modalnya kepada PT.GTI yang akan mengelola sektor pariwisata.

"Luas HGU pada saat 75 Ha, yang ditandatangi tahun 1993," urainya.

Dari lahan 75 Ha yang telah diduduki warga, maka dikeluarkan lahan tersebut sebanyak 10 Ha yang diperuntukan untuk relokasi masyarakat yang mengusai tanah HPL Pemda tadi. Sehingga tersisa luas lahan yang menjadi perjanjian kontrak produksi antara Pemda NTB dan PT. GTI adalah 65 Ha.

Dengan syarat-syarat perjanjian awal itu adalah membangun 150 buah Coted dan fasilitas pendukung lainnya, royalti pertahun Rp. 22,5 juta dan jangka waktu PKP 70 tahun dan diberikan HGP dengan ketentuan yang berlaku.

Namun seiring waktu, PT.GTI mulai melakukan aktivitas pembangunan awal, tetapi ketika dilakukan peletakan batu pertama tahun 1998, terjadi gangguan dari beberapa oknum dan itu terbukti dengan adanya 3 kali laporan ke pihak kepolisian. Akibatnya pihak investor tidak melanjutkan pembangunan.

Dari sini, muncul berbagai pendapat baik dari Pemrov, Biro Hukum, BPKP termasuk dari KPK bahwa ini bertentangan dengan kepres dan berbagai aturan lainnya. 

Akibat dari itu, dinilai ada potensi kerugian negara yang harusnya masuk ke PAD kurang lebih 2 Triliun Rupiah.

Oleh sebab itu, KPK menyarankan kepada Gubernur agar persoalan ini dikuasakan kepada JPN untuk melakukan kajian mendalam. Dari hasil kajian tersebut ada 2 opsi , bahwa PT.GTI dapat dinyatakan oneprestasi, karena tidak melaksanakan kesepakatan sesuai PKP.

"Namun PT. GTI dapat membela diri karena dalam keadaan cosmajore atau gangguan saat mulai membangun,"jelasnya.

Sedangkan disisi lain, pemerintah tidak memberikan jaminan untuk kenyamanan berinvestasi. Namun dalam perjanjian PKP tidak ada satupun point yang menyatakan pemberian jaminan keamanan itu.

Oleh sebab itu JPN memberikan 2 opsi solusi kepada pemrov, yaitu pemutusan kontrak atau adendum. Namun adendum juga harus memperhatikan aturan yang berlaku. Pilihan adendum ini dasarnya waktu itu adalah Permendagri no 3 tahun 1946 yang telah dicabut.

"Tentu PKP tadi lagi relevan dengan aturan yang sekarang, sehingga kita sesuaikan dengan Permendagri tahun 2016," tuturnya.

Dalam adendum ada 3 pegangan yaitu, pertama Pemrov. NTB tidak boleh dirugikan, karena aset tersebut harus dioptimalkan, kedua harus ada kepastian dan jaminan hukum bagi investor, dan ketiga masyarakat harus terlindungi.

"Saya setuju dengan Gubernur, bahw aset daerah tersebut harus dipergukan sebesar-besarnya ntuk kemakmuran rakyat NTB,"tegas Kejati.

Selain itu dijelaskan pula, untuk mewujudkan upaya itu, Gubernur NTB telah membentuk 3 pokja. Pokja pertama untuk menyusun adendum dan regulasi, pokja 2 evaluasi masterplan agar sesuai kondisi kekinian, dan pokja 3 untuk sosialisasikan rencana adendum.

"Jadi kita belum adendum itu hanya rencana, bila pihak GTI sepakat, namun bila tidak kita putus konrtak,"tegasnya.

Ia juga mengatakan bahwa ada 9 pokok-pokok adendum yang dibuat. Bila disepakati ia berharap PT. GTI bersungguh sungguh untuk investasi. 

"Bahkan saya katakan kepada pak Gubernur, bahwa kalau hanya kesungguhan tanpa ada jaminan mereka memiliki modal ia meminta agar putus saja kontrak,"ucapnya.

Termasuk kesungguhan untuk mengakomodir para pengusaha yang ada di area tersebut. Tetap ditampung dan sebagai leading sektornya PT. GTI.

Kecuali para pengusaha ilegal yang memperjualbelikan dan menyewa lahan, akan diproses secara hukum bila pengusaha ilegal ini tidak keluar dari area tersebut.

"Kalau tidak mau ikut aturan, maka akan kita persoalkan secara hukum,"tegasnya.

Disampaikannya juga bahwa perkembangan proses penyelesaian dan kajin tetap disampaikan dan dilaporkan kepada pimpinan KPK dan Ketua Satgas Investasi. 

Begitupun  dalam rangka sosialisasi kepada masyarakat terkait persoalan GTI melibatkan KPK, jadi kejaksaan tidak berdiri sendiri.

"Kami ingin clean and clear, dalam rangka optimalisasi aset untuk kemakmuran rakyat NTB," tutupnya. (Red/O'im)