Incinews.net
Rabu, 24 April 2024, 14.30 WIB
Last Updated 2024-04-24T11:01:37Z
Bima KotaKampusPoldaNTBPolres

Aktivis Ditangkap Menuntut Kenaikan Harga Jagung, Akademisi: Kapolre Bima Kota Memberangus Demokrasi

Foto: Dekan Fakultas Hukum dan Ekonomi Universitas Muhammadiyah Bima Dr. Taufik Firmanto, SH., LL.M.

MEDia INSAN CITA (inciNews.net) BIMA -
 
Dekan Fakultas Hukum dan Ekonomi 
Universitas Muhammadiyah Bima Dr. Taufik Firmanto, SH., LL.M kritisi sikap Kepolisian Resor (Polres) Bima Kota, Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat (Polda NTB), yang menangkap dan menetapkan lima Demonstran sebagai tersangka kasus pemblokiran jalan saat demonstrasi Sabtu (20/4/2024) yang menuntut kenaikan harga jagung di Kecamatan Langgudu Kabupaten Bima. Ke lima orang yang ditetapkan tersangka tersebut warga Desa Laju.

Dr. Taufik Firmanto menilai penetapan sejumlah Demonstran tersebut sebagai tersangka dan menahan sejumlah mahasiswa adalah sebagai upaya pembungkaman terhadap aspirasi rakyat. 

"Upaya pembungkaman dengan berbagai cara selama ini telah berimplikasi pada iklim ketakutan berekspresi di tengah-tengah masyarakat. Di ranah publik, masyarakat yang menyampaikan pendapat justru direpresi oleh aparat kepolisian,"sebut Dr. Taufik Firmanto, kepada media ini. Rabu (24/4/2024).

Menurutnya, penetapan tersangka terhadap massa aksi merupakan bentuk kriminalisasi. Ini merupakan ancaman serius bagi demokrasi dan situasi kebebasan sipil di Bima dan Indonesia pada umumnya, ditandai dengan masifnya penangkapan sewenang-wenang, pembubaran paksa terhadap demonstrasi secara berlebihan, kriminalisasi terhadap sejumlah aktivis yang mengkritik pemerintah dan sejumlah pelanggaran lainnya. Secara umum, dilanjutkannya kasus ini hanya akan menambah catatan hitam pada rekam jejak demokrasi di Indonesia.

"Demonstrasi yang ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka merupakan korban judicial harassment di mana perangkat hukum digunakan untuk memidanakan masyarakat yang aktif berpendapat,"katanya.

Dekan Fakultas Hukum dan Ekonomi 
UM Bima juga menilai, aspirasi masyarakat melalui kritik publik merupakan bagian dari HAM dan unsur penting dalam negara demokrasi. Selain dilindungi oleh berbagai instrumen HAM baik nasional maupun internasional, sehingga aksi demontrasi yang dilakukan masyarakat dan mahasiswa di kecamatan Langgudu desa Laju merupakan bagian dari masyarakat sipil dalam mengawasi kerja pemerintah agar tak terjadi absolutisme kekuasaan, agar pemerintah daerah tidak tidur, peduli pada masalah masyarakat. 

"Lantas mengapa mahasiswa dan masyarakat ditangkap seperti seorang teroris? Padahal warga yang ditangkap ini bukan pelaku kriminal," imbuhnya.

Ia lantas menyinggung aksi demonstrasi tersebut sebagai aspirasi para petani terkait anjloknya harga jagung. Dalam konteks itu, Dr. Taufik Firmanto, meyebut bahwa aparat kepolisian seharusnya memahami kondisi sosial ekonomi warga Bima.


"Mestinya Kapolresta paham bahwa aksi demonstrasi massa merupakan bentuk jerit keprihatinan rakyat atas ketidakberdayaan rakyat sekaligus acuh-tak acuhnya pemerintah daerah atas aspirasi rakyat; kapolresta gagal menyelami suasana kebatinan masyarakat, tidak paham kondisi sosial-ekonomi masyarakat bima, dan 
hanya berupaya menegakkan hukum dengan kaca-mata kuda, hukum ditegakkan seolah-olah hanya untuk hukum, lupa memanusiakan manusia sebagai esensi dan subtansi tujuan hukum itu sendiri,"bebernya.

Ia juga menegaskan, penangkapan dan penetapan tersangka tersebut merupakan satu bentuk serangan pada para pembela Aspirasi Rakyat oleh pejabat Indonesia dengan cara menyalahgunakan hukum untuk keperluan institusinya sendiri. 

"Kami menilai hal ini adalah ancaman yang serius terhadap demokrasi dan kerja-kerja Social Control; Moral Force; Iron Stock; Guardian of Value; serta Agent of Change;"bebernya.

Dr. Taufik Firmanto juga menyebut, 
Kepolisian resor Bima Kota di bawah pimpinan AKBP Yudha Pranata gagal 
menjalankan fungsi Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, alih-alih mengayomi, polisi justru dengan tergesa-gesa menetapkan tersangka terhadap mahasiswa demonstran justru dengan melawan hukum.

Dalam kasus ini, Dr. Taufik Firmanto, menilai para Demonstran seharusnya diberikan jaminan perlindungan atas kerja-kerjanya, kini malah mendapatkan serangan dan intimidasi dari aparat kepolisian. Hal ini justru menciptakan lingkungan tanpa ruang demokrasi dan melemahkan kemampuan aspirasi rakyat untuk menjalankan pekerjaan mereka dan berbicara kebenaran kepada kekuasaan tanpa rasa takut akan pembalasan. Hal ini semakin menunjukkan karakter bahwa "hukum yang selalu tajam ke bawah, tumpul ke atas,"pungkasnya.

"Polisi gagal menyelami suasana kebatinan masyarakat. Tidak paham kondisi sosial ekonomi masyarakat Bima dan hanya berupaya menegakkan hukum dengan kaca mata kuda, hukum ditegakkan seolah-olah hanya untuk hukum. Lupa memanusiakan manusia sebagai esensi dan subtansi tujuan hukum itu sendiri," sebut Dr. Taufik Firmanto.


Wakapolres Bima Kota, Kompol Herman, menyampaikan mereka ditangkap diduga mengganggu ketertiban umum dengan memblokir jalan saat demonstrasi.


"Iya sudah ditetapkan tersangka. Dugaan blokir jalan," kata Herman.


Herman mengatakan mereka telah diingatkan dan diimbau agar tidak menggangu arus lalu lintas atau menutup dan memblokir jalan saat demonstrasi. Sebab, jalan raya merupakan akses dan fasilitas untuk kepentingan masyarakat umum. "Pemblokiran jalan adalah tindak pidana," ujarnya.


Kelima warga itu terancam pidana 9 tahun penjara maupun denda sesuai Pasal 192 ayat (1) KUHP. Mereka juga dapat dikenakan maksimal 15 tahun bui sesuai Pasal 192 ayat (2) KUHP. Selain itu, pemblokiran jalan juga dapat dikenakan Pasal 63 Undang-Undang (UU) Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan. Pelaku dapat diancam pidana maksimal 18 bulan penjara atau denda paling banyak Rp 1,5 miliar.