Incinews.net
Senin, 03 Juli 2023, 21.47 WIB
Last Updated 2023-07-03T14:50:21Z
NTBOKP

Polda NTB Jebloskan 19 Aktivis Ke Penjara, BADKO HMI BALI NUSRA: Bungkam Aktivis Seperti Masa Orba

Foto: Ketua Umum Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam Bali Nusa Tenggara (BADKO HMI BALI NUSRA) Rahmat Jayadi Pratama.


INSAN CITA (inciNews.net) MATARAM-
Ketua Umum Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam Bali Nusa Tenggara (BADKO HMI BALI NUSRA) menuding penahanan dan penetapan tersangka terhadap 19 Aktivis Front Perjuangan Rakyat (FPR) Donggo Soromandi Kabupaten Bima Provinsi NTB sebagai bentuk kemunduran demokrasi. 

"Langkah Polda Seperti ini seperti Masa Orba. Penahanan tersebut sebagai bentuk pembungkaman yang lebih canggih," sebut Rahmat Jayadi Pratama, Senin (3/7/2023) malam.

19 aktivis yang ditahan lantaran aksi demontrasi menuntut pemerataan infrastruktur jalan yang ada di Wilayah Kabupaten Bima Kecamatan Donggo- Soromandi. Mereka ditahan dan dipenjara sejak tanggal 31 mei 2023 hingga saat ini dan ditetapkan sebagai tersangka.


"Bebaskan saudara pejuang kami. Mereka bukan penjahat atau koruptor. Mereka menuntut dan menyampaikan aspirasi dan isi hatinya kepada pemerintah dan haknya sebagai warga negara,"tegasnya.


Menurut Rahmat, yang dilakukan oleh jajaran Polda NTB  menggunakan instrumen hukum untuk membungkam suara kritis masyarakat  masa aksi FPR Donggo - Soromandi sebagai bentuk kebrutalan. Kebebasan Berpendapat Adalah Hak Setiap Warga Negara.

"Aksi pembungkaman ini memang tidak se-brutal yang terjadi saat zaman Orde Baru. Di mana saat itu pemerintah dengan mudahnya menangkap dan memperkarakan masyarakat sipil maupun aktivis tanpa proses di pengadilan. Sekarang pembungkaman itu lebih canggih menggunakan instrumen hukum untuk membungkam suara kritis," katanya. 

Pembungkaman ini, menurut Rahmat, sangat berbahaya bagi penguatan dan keberadaan demokrasi kita. 


"Kita memang bukan demokrasi liberal. Tapi ingat, bahwa demokrasi itu berdasarkan konstitusi. Dan sudah diatur dan dilindungi di pasal 28 UUD 45,"terangnya.


Pria asal Bima ini, merasa heran mengapa di zaman reformasi seperti sekarang ini masih terjadi gaya pemerintah yang otoritarian.

Ia menduga cara-cara pemerintah yang otoritarian tersebut sengaja dipelihara oleh rezim, sehingga gaya-gaya di masa Orba terulang di masa kini.


“Menurut saya cara-cara seperti itu harus ditinggalkan, tidak boleh lagi diterapkan oleh penegak hukum. Pemerintah juga tidak boleh menggunakan cara-cara itu untuk membungkam kritik. Karena pada dasarnya menyampaikan pendapat, kemudian mengkritik pemerintah, kemudian juga berkumpul, berserikat, berdemonstrasi itu semua dijamin dalam konstitusi,” tuturnya.


Peristiwa penangkapan dan penahanan terhadap Aktivis FPR Donggo Soromandi lanjut Rahmad, merupakan model pemerintahan yang diterapkan di masa Orba.


Menurutnya, model pemerintahan yang otoritarian seperti itu harus segera diakhiri dan harus dilawan.


“Model-model di Orde Baru kan begitu, orang tidak boleh mengkritik pemerintah, mengkritik pemerintah adalah hal yang tabu. Kemudian berdemonstrasi dilarang, menyebarkan kritikan kepada pemerintah dianggap makar, dianggap melawan pemerintah, atau dianggap ingin menjatuhkan kewibawaan pemerintah,” sebutnya.


"Itukan biasanya alasan yang digunakan oleh rezim yang otoriter pada zaman orde Baru, nah sekarang tidak boleh ada dijaman demokrasi saat sekarang,"imbuhnya.