Incinews.net
Rabu, 06 Januari 2021, 12.09 WIB
Last Updated 2021-01-06T04:18:21Z
NTB

JIKA NU NW TERUS MAU DIADU

Foto: Peci NU.



Oleh: Salman Faris


Pasti ada yang teriak menentang. Tidak ada yang mengadu. Semua atas nama kemauan sendiri. Boleh jadi sang pengadulah yang pertama kali teriak menentang pandangan saya ini. Sekali lagi, tidak masalah jika betul ada yang menentang bacaan saya bahwa NU dan NW sedang diadu. Hal tersebut Malah semakin membuktikan yang pandangan saya ada benarnya. Atau ada kemungkinan kedua, malah tak ada yang berteriak menentang. Hal ini tak berarti pandangan saya terbantahkan sebab ketiadaan respons tersebut boleh jadi ialah bukti yang sang pengadu telah berhasil menjalankan rancangan. Karena itu, apa pun situasinya, saya tetap pada pandangan bahwa NU dan NW sedang diadu. 


Tegas saya nyatakan bahwa NU dan NW tidak mempunyai tradisi berselisih. Sedikit penjelasannya begini. Saya sangat mengenal tradisi kedua ormas ini sebab saya hidup dalam kebiasaan keduanya. Hal yang paling sederhana namun amat mengakar ialah apabila satu perkara tersebut berkaitan dengan kemaslahatan jamaah, NU dan NW pasti mempunyai rujukan dan panutan. Tidak ada yang bergerak sendiri-sendiri dengan mengatasnamakan apa pun dan siapa pun. Rujukan ialah petunjuk sesepuh, Kiyai, Tuan Guru sebab merekalah yang menjadi panutan. Dan ajaran utama para Kiyai atau Tuan Guru di NU dan NW ialah keamanan, kedamaian, ketenangan, keteladanan, kesantuan dan hal lain yang berkaitan dengan kebaikan sesama di muka bumi ini. 


Hal lain ialah sepanjang ini, saya cukup mengenal tokoh NU dan NW di Lombok. Sebut saja tokoh  muda NU (kalau sesepuh sudah dapat dipastikan tingkat awas mereka jauh di atas yang muda). Keseluruhan mereka ialah tokoh muda yang berwawasan serta berkeilmuan terbuka dan luas. Tokoh muda yang sentiasa mengedepankan cakrawala masa hadapan. Pemikir-pemikir yang menghabiskan waktu untuk kepentingan jamaah. Kecakapan mereka hanya digunakan untuk kebaikan jamaah. Mereka dididik dan dibesarkan dari situasi keilmuan kritis, komprehensif, dan sublimatif. Kekuatan intelektualitas dan spiritualitas yang seimbang menjadi modul inti. Selain itu, integritas dan akhlaq mereka, saya kenali sebagai yang mengagumkan dan terpuji. Hal serupa dijumpai dalam kelompok junior. Jika puan ada di antara mereka yang masih berapi-api, namun masih dalam koridor akhlaq NU. Hormat dan patuh kepada Kiyai. Tidak mencaci dan juga tidak mendengki.   


Di kalangan sesepuh NW pula, saya kenali sebagai sesepuh yang jamak-jamak, lontah, lurus. Disebabkan pengalaman mereka yang tak seluas pengalaman sesepuh di NU, mereka akhirnya terbentuk sebagai sesepuh yang tidak neko-neko. Ngaji yang ngaji. Beramal ya beramal. Apa yang saya tahu, tak ada seorang pun tokoh muda di NW yang mempunyai pengalaman dan kemampuan di atas rata-rata sebagai propagandis. Malahan saya sering gregetan kepada mereka, muda kok malah berperangai dan bermental tua. Berilmu kok tidak agitatif. Jika ada di antara mereka yang bermain, ya sekelas pemain lokal. Sebatas Kayangan-Lembar. Selewat Labuhan Haji-Ampenan. Jadi tingkat keonaran yang ditimbulkan oleh pemain sekelas ini ialah sekadar setitik air di tengah kolam. Tidak berpengaruh apa-apa untuk melahirkan gelombang. Bahkan, saya pastikan, mereka nihil ilmu dalam bidang rusuh-rusuh alias mereka memang benar-benar pemain lokal. 


Apa yang ingin saya katakan ialah melihat peta sesepuh dan tokoh muda NU dan NW, saya amat berkeyakinan, tidak mungkin mereka berselisih. Selain karena watak dan karakter mereka sama-sama dibentuk dalam tradisi ahlussunnah waljamaah, juga tingkat kemampuan dan pengalaman yang tidak setara. Misalnya tokoh muda NU sekelas Lembar-Tanjung Priok sedangkan tokoh muda NW sekelas Kayangan-Lembar. Jarak kemampuan dan pengalaman keduanya yang amat jauh, menjadi tidak memungkinan mereka berjumpa di medan rusuh yang sama. Ilmu alam mengajarkan yang kapasitas daya selalu mencari daya yang seimbang. 


Kekuatan medan magnet mereka yang kontras malah berpotensi besar untuk saling mengisi dan kesadaran yang sama. Jadi, aneh jika di antara NU dan NW terjadi perselisihan, kecuali memang ada pihak ketiga yang mempunyai kemampuan khusus mengadu kelompok yang beda kelas sangat jauh. Hal yang sama dapat berlaku di kalangan sesepuh. Kiyai NU yang mempunyai pengalaman yang amat luas dipertemukan dengan sesepuh NW yang jamak-jamak, bagi pandangan saya, amat tidak mungkin berbenturan. Malah sebaikanya, mereka bergandengan tangan dan bahu dalam kedamaian bekelas tinggi.


Karena itu, amatlah rugi jika NU dan NW berselisih karena diadu. Lantas apa saja kerugian yang boleh terjadi jika NU dan NW terus mau diadu? Pertama, hilang berkah lenyap karomah. Sekurang-kurangnya ada dua hal yang amat dirindukan oleh jamaah NU dan NW yakni keberkahan dan karomah. Sebagai yang utama, oleh jamaah NU dan NW meyakini yang satu barokah lebih baik daripada seribu kelebihan dan kemuliaan. Berkah dan karomah dapat dikatakan sebagai etika moral jamaah NU dan NW. Untuk hal ini, mereka amat takut jika kehilangan berkah. Mereka selalu berjuang berada dalam lingkaran berkah dengan cara menjauhi hal-hal yang tidak terpuji. Perselisihan sudah pasti bukan hal terpuji. Jangankan mencaci atau pun mendengki Tuan Guru, Kiyai, berbeda pandangan dengan mereka pun, dilakukan dengan cara yang super tindih. Sebab memperselisihkan diri di kalangan NU dan NW ialah melanggar dasar tradisi. Terlebih jika sudah sampai tahap perbantahan yang tidak mengedepankan akal sehat dan rasa hormat, sudah melewati ambang batas tidak terpuji. Karena itu, jamaah NU dan NW tidak melakukan hal yang sedemikian. Bagi mereka, dibandingkan dengan kekuasaan dan kekuataan yang luas, mereka lebih memilih barokah. Karena itu, jamaah NU dan NW dididik untuk tidak mendapatkan kekuasaan dan kekuatan yang melenyapkan barokah. 


Kedua, di tengah-tengah kesibukan mereka berselisih karena diadu, akan semakin menguat kukuh kelompok Islam yang banyak mengharam membid’ahkan amalan sosial jamaah NU dan NW. Jika ini benar-benar terjadi, maka jamaah NU dan NW telah gagal menjalankan amanah dari sesepuh terdahulu mereka sebagai benteng ahlussunnah waljamaah di Lombok. Kegagalan tersebut juga akan berdampak kepada dicabutnya berkah, misalnya berkah dari guru. Jika NU dan NW gagal memahami yang Lombok merupakan salah satu medan target pengembangan faham wahabi dan sejenis, maka NU dan NW yang terus mau diadu itu menjadi keuntungan besar bagi faham wahabi dan sejenis. NU dan NW yang selama ini mereka pandang sebagai benteng yang kukuh di Lombok, sudah lemah berkalang tanah akibat pergaduhan mereka. NU dan NW sebaiknya menyadari bahwa mereka semakin kuat pun di Lombok ini, bentangan sayap faham wahabi di Lombok tidak akan berhenti apatah lagi NU dan NW terus mau diadu. 


Ketiga, jika terus saja NU dan NW ini tidak sadar yang mereka diadu, maka ekonomi dan sosial jamaah berpotensi melemah. Jamaah disibukkan oleh giringan isu yang dibenturkan satu sama lain yang berdampak kepada melemahnya potensi jaringan ekonomi dan sosial jamaah. Sebagai contoh, jamaah NU dan NW ini berdampingan rumah dan gubuk. Mereka berinteraksi dalam satu pasar tradisional. Karena terlalu kuat giringan pembelahan ini, lama-lama akan mengonstruksi diri sendiri secara polaritatif.

Jamaah NU tak mau beli bawang di kios yang dimiliki oleh jamaah NW begitu juga sebaliknya. Polarisasi ini bermula dari hal yang sederhana, namun jika NU dan NW tidak mau sadar, maka polarisasi tersebut akan semakin besar dan luas. Segala aspek akan diterjang dan dikeroposkannya. Lacurnya, jika ekonomi jamaah keropos, organisasi NU dan NW juga berpotensi keropos sebab karakter kedua organisasi ini amat bergantung kepada kekuatan jamaah. 

Kalau ekonomi jamaah lemah, misalnya, mereka tak mampu sekolahkan anak di ponpes NU dan NW, lambat laun ponpes tersebut lemah hingga berpeluang bubar. Hal lainnya ialah universitas yang dibangun NU dan NW akan mengalami kemerosotan mahasiswa. Selain karena ekonomi jamaah melemah, juga disebabkan oleh kesadaran pengotakan itu semakin menguat. 

NU dan NW harus sadar bahwa tantangan utama mereka bukan soal lemah iman jamaah. Bukan juga semata-mata soal kebodohan. Namun yang utama ialah kemiskinan alias lemahnya ekonomi jamaah. Kemiskinan yang sudah mendarah daging di kalangan kebanyakan jamaah NU dan NW tidak hanya akan melunturkan keimanan dan ketaatan jamaah kepada guru, kepada Tuan Guru, kepada Kiyai, namun juga berpotensi besar melahirkan tindakan tak terduga yang didorong oleh bawah sadar yang sudah terlalu lama dalam kemiskinan. Jamaah yang mempunyai tradisi bergantung kepada Tuan Guru, pada Kiyai berpotensi merasa ditelantarkan.

Jamaah NU dan NW yang berkarat dalam kemiskinan  akibat kelalaian NU dan NW mengurus mereka dapat berdampak besar melahirkan gelombang perlawanan jamaah kepada panutan. Apabila ini benar-benar terjadi, maka kita tak dapat lagi membedakan siapa yang dianuti dan bukan. Padahal panutan merupakan corak dasar NU dan NW. Gelombang perlawanan simbolik jamaah yang paling brutal bagi NU dan NW adalah kalau jamaah berpaling dari mereka. Dan karena kemiskinan, perkara ini berpotensi terjadi.

Keempat, perkara yang dapat timbul ialah menghilangnya salah satu tradisi paling hebat pada NU dan NW yakni rasa hormat jamaah kepada Tuan Guru atau Kiyai. Didikan dasar NU dan NW ialah ulamak, Tuan Guru, Kiyai ialah salah satu sumber keberkahan selain sumber ilmu. Jamaah dididik untuk memberikan rasa hormat bahkan doa kepada Tuan Guru, Kiyai dari mana pun golongan mereka.

Jamaah NU dan NW ditradisikan untuk tidak membedak-bedakan ulamak (khususnya 4 mazhab). Salah satu bentuk didikan ini termanifestasi dalam doa, dalam ziarah-ziarah, dalam pengajian kitab, dalam pertukararan ilmu. Namun jika NU dan NW masih tidak secara bersama-sama melawan sang pengadu, tradisi yang mendarah daging tersebut berpotensi luntur. Jamaah NU dapat saja berpandangan tidak penting memberikan rasa hormat kepada Tuan Guru NW dan sebaliknya. Betapa lacurnya jika ini benar-benar terjadi akibat kelalaian NU dan NW mengantisipasi gerakan pengadu.

Kelima, dalam konteks kebangsaan Sasak. NU dan NW akan mengalami kerugian besar. Apabila situasi perselisihan antara NU dan NW terus dipelihara oleh sang pengadu, maka polarisasi bangsa Sasak menjadi NU dan NW makin kuat dan mencolok. Tentu saja ini amat berbahaya terutama ketika ia dijadikan sebagai konsumsi politik dalam setiap ajang Pilkada, misalnya. Kader-kader terbaik NU dan NW diobok-obok untuk menjadi lemah dan kehilangan kesempatan memimpin. Selain itu, di tingkat bawah akan semakin terbelah, termasuk di wilayah birokrasi. Betapa hebatnya NU dan NW di Lombok dan NTB jika sama-sama mempunyai tujuan melahirkan tokoh sentral yang selalu dapat mendamaikan dan menyatukan. Hal ini akan semakin menguatkan posisi politik Sasak di level nasional. Entah NU atau pun NW ialah sama untuk kepentingan bangsa Sasak di level nasional.

Karena itu, ialah mutlak untuk NU dan NW kembali ke titik awal di mana mereka ialah satu. Nasab karomah, nasab berkah, nasab keilmuan ialah satu. Tidak hanya itu, kembali kepada kesadaran yang nasab perjuangan juga tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Melihat situasi ini, amat baik jika NU dan NW mulai duduk bersama untuk merumuskan bagaimana konstruksi dan corak hubungan NU dan NW di Lombok, khususnya dan NTB umumnya.

Kaedah klasik yang sudah diwariskan oleh nenek moyang NU dan NW berupa persilangan pengajian, persilangan pengijazahan wirid, misalnya, boleh diterapkan. Tentu saja, hal ini dilakukan bukan untuk saling mengecilkan melainkan untuk saling membesarkan. Di pengajian NW, kitab-kitab ulamak NU diajarkan sebagai bentuk upaya saling menguatkan. Hal yang sama diterapkan di NU. Pengajian NW sekali waktu diisi oleh Tuan Guru NU dan sebaliknya. Tradisi ini, harus dijalankan kembali sebagaimana yang sudah dijalankan oleh nenek moyang NU dan NW. 

Malah saya membayangkan, ustaz-ustaz, guru-guru di NU diperbantukan mengajar di pondok-pondok NW dan sebaliknya. Hal ini sebenarnya sudah berlangsung di Batam (pondok pesantren Al-Pancory NW Batam), misalnya, dikirimi para pengajar secara bergiliran oleh NU di Jawa. Pengajar dari NU membawa tradisi pengajian NU sambil mereka mencerapi kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di NW. Sungguh pemandangan yang sang membahagiakan. Lebih hebat lagi, misalnya, jika Dr. Hj. Sitti Rohmi Djalilah menjadi Rektor di UNU NTB dan Dr. Baiq Mulianah menjadi rektor di Universitas Hamzanwadi atau di UNW. Para profesor muda NU mengajar di unversitas yang di bawah NW dan sebaliknya. Hal ini semestinya terjadi, sebab yang seperti ini ialah warisan nenek moyang NU dan NW. 

Jika pada masa lalu ada sedikit kesilapan nenek moyang, itu bukan perkara yang harus dibesar-besarkan. Perbedaaan pandangan dan pendekatan keilmuan dalam NU dan NW ialah tradisi warisan yang sudah berlangsung sejak lama. Namun perbedaan tersebut malah semakin mengayakan perspektif keilmuan sekaligus kewalian para Tuan Guru, Kiyai pada masa terdahulu. Generasi NU dan NW mesti lebih memproyeksikan masa depan, terutama sekali dalam konteks bangsa Sasak atau NTB. 

Terakhir, meskipun di awal saya katakan tadi NU dan NW tidak mempunyai tradisi perselisihan karena dilingkari oleh orang-orang yang mempunyai tradisi kebaikan yang sama, namun sebagai manusia, sudah pasti ada yang nyembali dan nyeleneh. Karena itu, NU dan NW sebaiknya berjamaah melawan virus yang datang dari dalam agar cahaya keNUan dan KeNWan tidak pudar oleh virus yang membuat perselisihan. Dengan menangkal virus bawaan alias dari dalam, maka NU dan NW pasti berhasil menghalau virus yang datang dari luar.


Malaysia, 5-6/1/2021