Incinews.net
Jumat, 23 Agustus 2019, 21.01 WIB
Last Updated 2019-08-23T13:01:37Z
HeadlineHukum

Islam Dompu Ditangan Guru Ngaji

Oleh : Akhdiansyah (Anggota DPRD NTB Terpilih Dari Partai PKB di Dapil VI Meliputi Kab Bima, Kota Bima dan Dompu)

Dompu sebagai daerah kesultanan Resmi sejak abad XV, ditandai dengan pelantikan sultan pertama, (Raja ke IX, dengan gelar Dewa Ma Wa,a Bata).Yaitu Sultan Syamsuddin (24 September 1545 M), penyebaran Islam pun langsung dari Ghujarat, melalui perniagaan kelompok syekh dari yaman dan dunia arab saat itu.
Sehingga dalam penyebaran Islam pada era Kesultanan di Dompu, menggunakan pendekatan Perniagaan dan pertabiban, karena pendektan Islam ini lebih egaliter.Familiar dan tidak konfrontasi dengan budaya local, sehingga sejauh ini di Dompu sendiri aculturasi Islam dengan budaya local sangat melekat kuat dan masih menjadi bagian dari ritual Islam dan Budaya setempat.

Dalam sistim kesultanan di Dompu, tercatat pemegang mandate keagamaan dibangun dengan paradigm keagamaan yang bercorak sufistik, hal ini ditandai dengan perangkat “negera” kesultanan yang menyerahkan seutuhnya urusan kebijakan dan dakwah keagamaan pada para ulama.

Tercatat pada kesultanan pertama urusan keagamaan diserahkan pada syekh Nurdin (sekaligus ipar sultan Imam Masjid Kesultanan.
Keturunan Ghujarat dan Syekh Abdus Salam (sebagai Menteri urusan agama pertama), setelah itu pada struktur “pengelola”.Urusan agama tersebut dibentuk kembali beberapa juru dakwah sebagai pelaksana lapangan, yaitu diantaranya khotib besar dan khotib kecil, yang selanjutnya dikenal dengan panggilan populis masyarakat kekinian yaitu Guru To,i.

Dalam peradaban Islam Kesultanan Di daerah Dompu, penyebaran islam dilakukan secara dialogis dan tidak menggunakan unsur paksaan, karena para pendakwah Islam (para syekh) saat itu sadar bahwa yang dihadapi adalah masyrakat animism, atau yang dikenal dengan agama local masyarakat Dompu yaitu Marafu
Penghormatan terhadap leluhur), maka pilihan dakwan para syekh ini sendiri cendrung menujukan islam arif, bijak dan hadir sebagai kawan semua kelompok dan kelas bagi masyarakat Dompu.

Sehingga Islam saat itu bukan hanya paksaan struktur dilevel kesultanan, tapi lama kelamaan telah menjadi unsure terdalam dan persendian kehidupan masyarakat Dompu.
Islam bagi masyarakat Dompu adalah hakikat hidup sekaligus symbol dan juga identitas dirinya, maka jangan heran ada idiom yang menyatakan “Poda paa da sambeamu.

Pala aina hunta syahadat nami” (betul saya tidak sempurna menjalankan syari,at, tapi jangan coba ganggu symbol ke Islaman kami), karena hal itu nyawa taruhanya.

Fenomena ini adalah dampak dari indoktrinasi ke Islaman yang berlangsung dikalangan keluarga dan lingkungan bagi stiap individu masyarakat Dompu, bahwa Aqidah Harga mati.Akan tetapi soal syari,ah masih bisa kita dialogkan, karena para syekh syari,ah terlalu banyak furu,iyah (cabang) perdebatan yang justru bisa menghambat proses dakwah kearifan Islam saat itu.

Belajar dari sejarah tersebut, tidak satupun sejarah penyebaran Islam di Dompu menggunakan pola pola Invasi dan kekerasan, pendekatan mengislamkan rakyat yang jelas jelas menganut animisme pun masih sangat familiar.
Toleran dan bijak, begitu pula peran peran para pendakwah, khatib, guru ngaji pun selalu menggunakan pendekatan cultural dan familiar dengan budaya local ketika melakukan transformasi ke islaman bagi masyrakat Dompu.

Oleh karenanya penyanggah kuat bagi kearifan dan keberlangsungan Islam didaerah Dompu adalah, sesungguhnya terletak pada pola dakwah Cultural yang dilakukan oleh para pendakwah dilevel masyarakat.
Perkembangan zaman dan rotasi sistim ketata negaraan juga berdampak pada perubahan symbol symbol pendakwah keagamaan.

Sejak berubahnya sistim kesulatnan menjadi sistim kenegaraan Indonesia, maka kesulatanan Dompu berubah menjadi sebuah daerah kabupaten, akan tetapi dakwah dakwah cultural.
Dalam rangka melanjutkan tarnsformasi nilai keagamaan lekat dilakukan oleh para pendakwah, yang saat itu (pasca kesultanan) diemban oleh para guru ngaji secara konsisten hingga saat ini.

Oleh karenanya asset Islam peradaban didaerah Dompu saat ini adalah Guru Ngaji atau lebih akrab dikampung kampung selalu di sederhanakan dengan panggilan Guru To,i (walau dalam sejarahnya guru to,i memiliki makna tersendiri).

Karena para guru ngaji inilah yang berinteraski langsung pada generasi pelanjut islam dan sejarah peradaban local, bagaimana tidak sang guru ngaji selain memberikan pelajaran tentang tata cara mengaji dengan benar.

Guru ngaji pun akan melakukan transfer ilmu aqidah (ilmu kalam), etika (akhlaq), Tata cara beribadah (syari,ah) dan juga sampai kepada ilmu ilmu thariqat sufistik (fi-tua).

Oleh karenanya urgensinya posisi para guru ngaji tersebut, maka layaklah mereka kita rawat, perkuat dan jamin kelangsungan hidupnya.

Maka jikalau kita masih peduli akan keberlangsungan peradaban dan kearfian islam didaerah Dompu. Para guru ngaji ini haruslah mendapat perhatian yang ekstra baik dari kalangan masyrakat dan lebih lebih dari pemerintah.
Bentuk perhatian bisa bermacam macam bisa dari sisi social kita hormati layaknya sebagai pranata social yang dihormati, begitu pula disisi budaya dan peradaban mereka adalah asset dan symbol daerah Dompu.

Dari sisi ekonomi pemerintah layak memikirkan untuk memberikan insetif bagi para guru ngaji, karena mereka asset kerekatan sesama Masyrakat Dompu dan nuqtoh bijaknya Islam Didaerah Dompu! Serta sebagian dari mereka adalah ber-“pangkat” ekonomi kebawah.