Incinews.net
Minggu, 21 Juni 2020, 21.57 WIB
Last Updated 2020-06-21T14:01:33Z
NTBOpini

Menangani Kemiskinan di NTB: Belajar dari Grameen Bank Bangladesh



Miskin dalam bahasa Arab berakar dari kata ‘sakana’ yang berarti diam, tetap, dan konstan. Karenanya, dalam bahasa Arab ‘tempat tinggal’ adalah ‘maskan’ yang akan didiami dan beristirahat. Dalam konteks apa yang kita bicarakan, kemiskinan adalah konsekuensi dari minimnya aktivitas dan ikhtiar untuk bergeser dari zona miskin yang dalam irisan tertentu dimaknai, bahkan diterima sebagai takdir Tuhan (given).

Cara pandang seperti ini ditandai dengan sikap laten yang emoh berusaha untuk memperbaiki taraf kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja, apatis terhadap perubahan; dan secara psikologis merasa rendah diri, tidak berharga, tidak berdaya, dan sebagainya. Selain itu, mereka pun ditandai pula dengan rumah yang bobrok, penuh sesak dan bergerombol, sanitasi yang buruk, dan tingkat kebersihan yang rendah. Pada tingkat keluarga, masa kanak-kanak cenderung singkat, cepat dewasa, cepat menikah, dan bahkan cepat pula menjadi ‘orangtua’ tanpa pekerjaan yang jelas. Pun premanisme dan kekerasan boleh jadi sesuatu yang lekat di sana. Gambaran seperti ini nampak jelas di pinggiran kota, masyarakat pedesaan, dan kelompok marjinal/pinggiran.

Wajah malaise ekonomi dengan segala irisannya jelas tidak berdiri sendiri melainkan produk dari sistem/stuktur kuasa yang mengkotakkan alam bawah masyarakat miskin sulit bergerak, sesak napas, pun menerima fakta kemiskinannya sebagai garis hidup.

Sistem atau struktur ini kurang mampu menyediakan ruang-ruang kreasi yang memungkinkan si miskin dapat bekerja, tidak mampu menghubungkan masyarakat dengan sumber-sumber yang tersedia, baik yang disediakan oleh alam, pemerintah maupun masyarakat yang ada di sekitarnya. Mereka yang tergolong dalam kelompok ini adalah buruh tani, pemulung, penggali pasir, dan mereka yang tidak terpelajar, tidak terlatih, dan lain sebagainya.

Kemiskinan dengan demikian adalah produk dari perselingkuhan antara struktur dan kultul yang menyebabkan wajah murung anak bangsa dan janji kemerdekaan belum sepenuhnya dilunasi.
Terhadap kenyataan ini, pemerintah sejatinya tak pernah diam, pegiat-pegiat sosial kemanusiaan, lembaga-lembaga donor, LSM-LSM, dan lain sebagainya menginjeksi gerakan-gerakan kultural-ekonomis-teologis demi tersemainya kesadaran intelektual untuk keluar dari jebakan kemiskinan, setidaknya akan melihat kelemahan ekonomi sebagai sesuatu yang mesti dilawan bersama.

Pemprov. NTB sendiri telah menempatkan peningkatan kesejahteraan (baca: penanganan kemiskinan) sebagai perhatian utama. Tak heran kemudian, program-program yang pro poor diinstalasi ke masyarakat ekonomi lemah dengan alokasi anggaran 1,7 triliun pada tahun 2018. Pun ikhtiar yang tak habis-habisnya oleh Pemerintah Provinsi NTB, terbukti efektif dengan penurunan angka kemiskinan yang sangat signifikan dan ragam penghargaan nasional maupun internasional: apresiasi atas komitmen Pemprov. NTB dalam menangani kemiskinan.

Tapi bukan berarti kemiskinan tidak ada karena wujudnya masih terpapar jelas di hadapan kita. Oleh karenanya, kita akan terus bekerja sembari belajar, menengok program-program penanganan kemiskinan yang diimplementasikan oleh daerah lain, bahkan oleh negara lain.

Adalah Bangladesh contoh dalam konteks ini di mana sebagian besar masyarakatnya terpapar hidup di bawah garis kemiskinan akut. Muhammad Yunus, Sang Doktor muda pada masa itu ekonomi jebolan luar negeri, yang juga Guru Besar Ekonomi di negaranya merasa terpanggil, miris, sedih, menangis menjerit hatinya melihat kenyataan yang demikian.

Ia merasa tumpukan teori-teori besar yang ia dapatkan dan ia ajarkan di bangku perguruan tinggi mengalami kebuntuan dengan fakta kemiskinan yang ada di Bangladesh. Berbuat dan terlibat praksis adalah jawabannya, sehingga sejak tahun 1976, Yunus mentransformasi sebuah lembaga kredit yang didirikannya menjadi sebuah Bank formal dengan aturan khusus bernama Grameen Bank atau Bank Desa dalam bahasa Bengali.

Konsep penanganan kemiskinan terhadap kaum dhu’afa’ yang diinisiasi oleh Grameen Bank nampak sederhana: memberikan pinjaman tunai tanpa legal contract (jaminan/agunan) yang selama ini menjadi rukun dan syarat transaksi peminjaman oleh bank konvensional yang membuat kaum papa ini kesulitan untuk memperoleh akses permodalan.

Pihak Grameen Bank sepenuhnya meyakini bahwa kaum marginal ini dapat dipercayai yang membentuk kepercayaan diri mereka di tengah pesimisme lembaga formal-dalam hal lembaga perbankan negara. Dalam praktiknya, peminjam diminta untuk membentuk kelompok yang terdiri dari 5-10 orang dengan memilih sendiri ketua grup yang dianggap cakap, baru kemudian peminjaman dapat dicairkan oleh pihak Grameen Bank dengan syarat bahwa dana yang dipinjamkan dihajatkan untuk usaha ekonomi produktif.

Setiap anggota dalam group memiliki tanggungjawab yang sama atas setiap peminjaman yang dilakukan oleh anggota dalam group yang konsekuensinya adalah mereka juga harus memikul tanggungjawab pengembalian apabila anggota dalam group tidak mampu mengembalikan pinjaman. Barulah peminjaman kedua dan seterusnya dapat dilakukan.

Skema permodalan seperti ini secara pelan-pelan membentuk loyalitas, komitmen, solidaritas, dan budaya malu karena satu orang saja yang mbalelo akan berefek terhadap yang lainnya serta membentuk kesadaran dari tiap anggotanya untuk melunasi pinjaman sesuai dengan waktu yang ditentukan.

Selain itu, ketua group harus rutin mengunjungi tempat usaha anggota dalam groupnya untuk memastikan bahwa usahanya berkembang dan mendapatkan keuntungan. Masyarakat ekonomi lemah diberi kesempatan untuk berkembang, dihargai untuk menjadi dirinya sendiri, mengetahui apa yang menjadi kebutuhannya dan belajar serta berupaya memenuhi kebutuhannya secara mandiri.

Dalam hal ini pihak Grameen Bank hanya sebagai fasilitator dan meminjamkan kredit. Model pemberdayaan ini bukan sekadar berfokus kepada kemiskinan finansial, tetapi juga sosial. Ia dirancang guna mendorong rasa tanggung jawab dan solidaritas terhadap sesama peminjam dalam satu komunitas. Hal ini dibangun karena diyakini bahwa kemiskinan bukan semata disebabkan oleh kekurangan modal finansial, tetapi juga sosial. Mereka juga dituntut memainkan peran dan terlibat aktif dalam ruang-ruang pengabdian sosial. Kombinasi antara modal uang serta modal sosial dengan sendirinya menjadi alat negosiasi bagi kelompok marginal untuk menaikan citra sosialnya yang selama ini diremehkan oleh karena rendahnya penguasaan terhadap alat produksi.

Yang unik dari program penanganan kemiskinan ala Grameen Bank adalah memfokuskan gerakan perbaikan taraf hidup masyarakat miskin ini pada perempuan dengan tujuan: untuk menaikkan ruang tawar perempuan di ruang privat dan ruang publik. Kita tak menafikan bahwa kekerasan dalam ruang tangga oleh karena rendahnya penguasaan ekonomi kaum perempuan dalam keluarga. Pun dalam ruang publik tak jauh berbeda: perempuan tersubordinasi dalam ruas sosio-kultural yang sangat sempit.

Visi berikutnya adalah peningkatan kualitas hidup anak. Bagaimanapun juga bahwa peningkatan kualitas ekonomi/kesejahteraan perempuan beririsan langsung dengan kualitas pendidikan dan kesehatan anak seperti turunnya angka kematian bayi dan malnutrisi.

Keberhasilan Grameen Bank dalam menangani kemiskinan di Bangladesh oleh karena: (1) fokus pada orang yang termiskin diantara yang miskin, (2) diprioritaskan pada wanita miskin, (3) kredit berdasarkan kepercayaan bukan berdasarkan penjaminan, kontrak legal, prosedur dan sistem, (4) kredit diupayakan untuk menciptakan lapangan kerja sendiri dirumah tangga miskin dan bukan untuk konsumsi, (5) menyediakan layanan untuk orang miskin (bank proaktif mendatangi orang miskin), (6) untuk memperoleh pinjaman, satu peminjam harus bergabung dengan kelompok peminjam, (7) peminjaman baru dapat tersedia baji satu pminjam jika seorang peminjam yang lain telah mengembalikan pinjaman sebelumnya, (8) Semua pinjaman diharapkan dapat dibayar/diangsur dalam mingguan atau dua mingguan, (9) Peminjam dapat meminjam lebih dari satu kali, (10) ada dua model simpanan bagi anggota yakni simpanan wajib dan sukarela, (11) Suku bunga pinjaman dijaga dekat dengan suku bunga pasar tanpa mengorbankan tujuan langsung untuk mengentaskan kemiskinan, (12) Memberi prioritas yang tinggi untuk membangun social capital seperti pembentukan kelompok diperkuat, pemilihan pemimpin kelompok dan pengurus melalui memilihan yang demokratis, mendorong diskusi yang intensif untuk mengambil keputusan yang berhubungan dengan lingkungan, pendidikan anak dan teknologi (Yulaswati, 2008).

Pertanyaan sekarang adalah “Apakah konsep penanganan kemiskinan ala Grameen Bank dari Bangladesh compatible untuk Indonesia?” Menurut hemat kami, strategi penanganan kemiskinan ala Grameen Bank menarik untuk dipertimbangkan serta diimplementasikan, katakanlah di NTB, mengingat adanya beberapa kesamaan utama seperti agama, gender inequality (bias gender), dan kantong-kantong kemiskinan yang berpusat di pedesaan (rural community) dan atau kawasan pesisir serta pedalaman dengan pelbagai modifikasi.

Tunjuk misalnya, fokus pemberdayaan tidak hanya memfokuskan pada perempuan, melainkan juga laki-laki, pemuda usia produktif yang masih menganggur, dan tak tertutup kemungkinan juga mahasiswa-mahasiswa. Pun aktor yang terlibat bisa siapa saja: pemerintah, NGO-NGO, CSR, Ormas, majelis taklim, perguruan tinggi, dan lain sebagainya yang terpanggil untuk menangani kemiskinan karena persoalan ini menuntut kita semua untuk terlibat praksis mengambil bagian. Bukankah kemiskinan mendekatkan kepada kekafiran yang dapat mengambil bentuk: pencurian, perampokkan, pemalakkan, dan berbagai sikap serta tindakan kekerasan lainnya.

Langkah konkretnya adalah masing-masing dinas mengalokasikan dana khusus penanganan kemiskinan berbasiskan lingkup kerjanya: dana bergulir non agunan serta tanpa bunga yang dalam praktiknya dapat dikonversikan dalam bentuk sedekah. Sebagai contoh misalnya, Dinas Sosial melakukan advokasi pada masyarakat pesisir-pedalaman; Dinas Pertanian memfokuskan pada petani-nelayan, Dinas Pendidikan pada mahasiswa, Dinas Perdagangan pada pedagang, dan seterusnya. Diharapkan ke depannya, formulasi ini dapat dikembangkan menjadi semacam lembaga ekonomi mikro semacam koperasi/BMT yang berbasiskan orientasi masyarakat.

Menangani kemiskinan jelas pekerjaan sosial yang tak mudah apalagi pemberian pinjaman tanpa kontrak yang legal kepada (kelompok) peminjam. Oleh karenanya prosedur tata laksana eksekusinya pun harus selektif terhadap kelompok yang dianggap laik menerima bantuan, pendampingan yang terus-menerus dilakukan yang dibarengi pelatihan life skill, motivasi, manajemen pemasaran.

Pun petugas pendamping di lapangan dituntut untuk memiliki komitmen dan integritas untuk kerja tulus-ikhlas, memiliki kesungguhan untuk menolong orang-orang miskin, serta membangun hubungan personal dengan kelompok binaan. Ketidakdisiplinan antara kelompok peminjam dan pendamping hanya akan mengakibatkan terjadinya kredit macet serta gagalnya program penanganan kemiskinan. Di luar dari semua ini: permodalan dan pendampingan, keinginan dari kelompok masyarakat ekonomi pra sejahtera untuk keluar dari pasungan kemiskinan dengan ikhtiar yang serius adalah jalan keluar utama.

Sebagus apapun program tanpa diiringi komitmen warga ekonomi lemah untuk merubah garis hidupnya, batu karang bernama kemiskinan akan sulit untuk bergeser. Namun kita optimis bisa melawan kemiskinan dengan kerja-kerja sosial-kultural karena faktanya angka kemiskinan di NTB menurun signifikan: buah dari komitmen, kerja keras, dan kerja cerdas kita semua. AYO BERBUAT, AYO TERLIBAT, AYO LARI melawan kemiskinan.