Oleh : Muhammad Daud Akbar, ST
Opini - Sabtu tanggal 30 Maret
2019, Pemerintah Kabupaten Bima menyampaikan Laporan
Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) tahun anggaran 2018, tepat pada saat DPRD
Kabupaten Bima melaksakan rapat paripurna ke-3, di saat perhatian public
teralihkan pada momentum Pileg dan Pilpres. Dalam
laporanya Bupati Bima menyapaikan beberapa capaian selama 2018, diantaranya
keberhasilan menurunkan angka kemiskinan dan menaikan Indeks Pembangunan
Manusia (IPM).
Hal ini tentunya
wajib diapresiasi oleh seluruh element masyarakat di Kabupaten Bima, capaian
tersebut diantaranya keberhasilan pemerintah dalam menurunkan angka kemiskinan
dari tahun 2016 sebesar 15,31%, tahun 2017 turun diangka 15,10% dengan jumlah
penurunan sebesar 0.21%, kemudian pada tahun 2018 kembali mengalami penurunan
sebesar 14.84% atau terjadi penurunan sebesar 0.26% dibanding periode tahun
2017, jika dibandingkan dengan persentase tingkat kemiskinan Nasional periode
September 2018, angka kemiskinan sebesar 9,66% (sember data BPS) sehingga dapat
disimpulkan angka capaian pemerintah Kabupaten Bima masih jauh dari capaian
angka kemiskinan secara nasional.
Prestasi yang tidak
kalah membanggakan juga di raih pada indicator peningkatan IPM, dimana progress
peningkatan sebesar 2,18 dalam kurun waktu 2015 – 2018, capaian IPM Kabupaten
Bima tahun 2018 di angka 65.66 dibanding capaian nasional yaitu diangka 70.81
di tahun 2017, capaian IPM Kabupaten Bima masih jauh dibandingkan dengan capaian
IPM Nasional.
Terlepas dari
prestasi tersebut, ada beberapa hal yang butuh di telaah secara kritis diantaranya,
pendekatan atau parameter yang digunakan untuk mengukur angka kemiskinan dan
IPM sehingga dapat disimpulkan kedua indicator tersebut mengalami progress
kemajuan.
Jika mengacu pada
metode BPS yang menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic need approach) maka pendekatan
yang digunakan untuk mengukur angka kemiskinan berdasarkan pengeluaran
perkapita perbulan, dengan pengeluaran maksimal sebesar Rp. 13.400 per hari
atau Rp. 402.000 per bulan, sedangkan untuk angka kemiskinan yang di tetapkan
oleh Bank Dunia dengan pengeluaran perkapita sebesar Rp. 27.300 per hari. Pertanyaan
yang muncul kemudian apakah parameter yang digunakan oleh pemerintah Kabupaten
Bima tersebut rasional atau tidak, tergantung public menilai, selain metode
pengeluaran perkapita angka kemiskinan juga dapat diukur menggunakan metode
yang dipakai oleh BKKBN dengan mengklasifikasi kedalam 5 varian yaitu keluarga
pra sejahtera (sangat miskin), keluarga sejahtera I (miskin), keluarga
sejahtera II, keluarga sejahtera III dan keluarga sejahtera III plus.
Begitupun dengan
parameter yang digunakan untuk mengukur IPM,
Komponen yang digunakan dalam menghitung IPM adalah usia hidup (longevity), pengetahuan (knowledge), dan standar hidup layak (decent living). Usia hidup diukur dengan
angka harapan hidup atau yang dihitung menggunakan metode tidak langsung
berdasarkan variabel rata-rata anak lahir hidup dan rata-rata anak yang masih hidup. Komponen pengetahuan diukur
dengan angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah.
Komponen
standar hidup layak diukur dengan indikator rata-rata konsumsi riil yang telah
disesuaikan. Untuk IPM Kabupaten Bima dari tahun 2015 yaitu diangka 63,48
kemudian meningkat 65,66 di tahun 2018 atau mengalami progress kemajuan sebesar
2.18, capaian ini masih jauh jika dibanding capaian nasional yaitu diangka
70,81 di tahun 2017, capaian IPM Kabupaten Bima masih dalam kategori menengah
bawah, jika mengacu pada pengkategorian IPM yang dikembangkan oleh PBB.
Apapun indicator yang
digunakan untuk mengukur angka kemiskinan dan IPM hanyalah sebuah metodologi
yang akan melahirkan sebuah asumsi sebagai result dari hasil penelitian,
akantetapi penggunaan metodologis yang tepat sebagai parameter untuk memetakan
angka kemiskinan dan IPM akan membantu pemerintah dalam hal mengetahui potret
kemiskinan secara utuh, kemudian dapat digunakan untuk menentukan atau membuat
policy yeng tepat, selain itu dapat digunakan sebaga acuan untuk pengalokasian
anggaran secara efektif untuk memberikan dampak yang berarti bagi penentasan
kemiskinan dan peningkatan IPM.
Kembali ke LKPJ
pemerintah Kabupaten Bima yang disampaikan oleh Bupati Bima, dalam laporanya
Bupati Bima menyebutkan bahwa peningkatan kapasitas SDM, penciptaan wirausaha
baru, pembukaan lapangan kerja serta pemberdayaan ekonomi kreatif adalah faktor
yang memberikan dampak terhadap penurunan angka kemiskinan dan peningkatan IPM,
hanya saja tidak dijelaskan apa saja upaya pemerintah dalam peningkatan
kapasitas SDM dan beberapa faktor lain yang berkontribusi terhadap capaian
tersebut. Sehingga public memahami dan dapat memberikan apresiasi terhadap
kinerja pemerintah, bahkan dapat mendukung dan berpartisipasi aktif terhadap
program-program yang dicanangkan oleh pemerintah.
Lebih lanjut, capaian
tersebut harus dapat terbreakdown dalam angka-angka yang lebih rigid, bukan
hanya sebatas ungkapan yang bersifat general, karena seyogyanya sebuah laporan
kinerja adalah hasil yang didapat dalam bentuk angka-angka setelah program
dijalankan, contoh penurunan angka kemiskinan adalah hasil dari penciptaan
wirausaha baru, pembukaan lapangan kerja dan pengembangan ekonomi kreatif, atau
dari beberapa factor tesebut faktor yang mana yang paling besar kontribusinya
dan berapa besar progress dari masing-masing faktor-faktor tersebut.
Jika dibreakdown
berdasarkan occupation atau sub occupation, bidang kerja yang mana yang paling
besar kontribusinya terhadap penurunan angka kemiskinan dan apa saja yang sudah
dilakukan oleh pemerintah, sehingga capain tersebut kedepanya dapat dijadikan
acuan dalam penyusunan kebijakan daerah yang tertuang dalam RPJMD.
LKPJ yang disampakan
pada saat rapat paripurna DPRD Kabupaten Bima tersebut seharusnya dapat
dievaluasi lebih lanjut oleh anggota dewan sebagai bagian dari fungsi
pengawasan yang dilakukan oleh legislatif, sehingga laporan tersebut tidak
hanya menjadi narasi formalitas sebagai bagian anggenda tahunan eksekutif
kepada legislatif.