Incinews.net
Kamis, 07 November 2019, 00.18 WIB
Last Updated 2019-11-06T16:18:27Z
HeadlinePemerintah

Program Industrialisasi yang Dicanangkan Gubernur NTB Mulai Terlihat


Mataram,Incinews.Net- Langkah pertama menuju program industrialisasi yang dicanangkan pemerintahan Gubernur  NTB Dr.H. Zulkieflimansyah dan Wakil Gubernur Dr.Hj. Siti Rohmi Djalilah perlahan-lahan mulai terlihat. Meski tertatih-tatih dimulai dari industri pengolahan hasil pertanian, perikanan dan produk-produk UKM dalam sekala kecil. Namun dalam waktu setahun ini, sejumlah industri pengolahan seperti pengolahan kakao menjadi coklat kemasan, ayam taliwang kemasan, minyak kayu putih, permen buah pala dan berbagai produk olahan lainnya, satu persatu hadir untuk dipasarkan.

Tidak mudah memang membangun sebuah industri, meski hanya industri kecil sekala rumah tangga. Selain dibutuhkan semangat wirausaha tak kenal lelah, modal usaha, skill, teknologi/mesin, bahan baku dan jaringan pemasaran, juga lingkungan yang aman, nyaman dan ramah investasi.

Seperti  diungkapkan Ketua Kelompok Tani Bunga Mekar KLU, Pardan yang cukup berhasil membangun industri kecil pengolahan kakao menjadi produk kemasan coklat. Karena di Senara Desa Genggelang Kecamatan Gangga ini merupakan kampong wisata agrobisnis dan edukasi komoditas coklat (kakao) maka kampung itu kemudian disebut Kampong Coklat.

Ditemui disela-sela Expo Peternakan Pertanian, dalam rangka 5 tahun kiprah LIPI untuk NTB, di Kawasan Bisnis Center Science Technology, Industrial Park (STIP) Banyumulek, Selasa, (5/11/2019), Pardan ikut memamerkan produk industri olahan coklatnya, yang dikenal "Datu Coklat" karena rasa dan aromanya yang khas.

Pardan menuturkan keberhasilan membangun industri pengolahan kakao tidaklah mudah. Ia harus membeli sejumlah mesin/alat produksi. Dan mesin-mesin yang harus diadakan itu, ungkapnya, mulai dari mesin pemecah biji kakao, mesin Pengempa Lemak Mekanis, mesin Pemeras Lendir Kakao sampai mesin pembuat pasta bagi warga. Namun ia beruntung karena mesin-mesin itu diperoleh dari bantuan Kementerian Desa, pembangunan daerah tertinggal dan transmigrasi pada tahun 2018 silam, tuturnya. 

“Sejak itulah kami mulai berproduksi olahan coklat untuk konsumsi. Ada bubuk coklat, beraneka rasa jajan coklat, serta bubuk coklat kemasan yang langsung bisa diseduh.Harganya juga berpariasi tergantung jenis dan ukurannya mulai dari RP 5000 sampai dengan RP 60.000 perbungkus”, jelasnya

Untuk mendapatkan bahan baku industrinya, Pardan menceritakan bahwa di Dusun Senara ada sekitar 100 hektar lahan perkebunan masyarakat yang ditanami pohon cokelat selama lebih dari 20 tahun. Di KLU sendiri terdapat ribuan hektar lahan cokelat dengan hasil produksi mencapai 500-600 Kg per hektar per tahun. Dalam satu tahun bisa menghasilkan sekitar 24 ribu ton.
Menurutnya, selama ini masyarakat menjual cokelat mentah setelah dikupas dengan pendapatan kotor Rp 3 juta hingga Rp 4 juta per bulan. Sementara produksi aneka olahan hanya bisa 2 Kg per hari. Namun berkat bantuan mesin industri ini, Pardan  kelompok masyarakatkian produktif. Masing-masing bisa memproduksi cokelat 10 Kg dengan menghasilkan 3,5 Kg bubuk cokelat murni, 1,8 Kg lemak cokelat per hari. Bubuk murni itu diolah menjadi aneka makanan berbahan dasar cokelat. Selain itu, ada juga bentuk minuman berupa cokelat original, cokelat rasa jahe, dan cokelat rasa kopi. Khusus minuman dikemas dalam bentuk sasetan

Setelah mendapatkan bantuan mesin pengolah, Kampung Coklat Senara akhirnya mampu memproduksi coklat batangan yang dulunya, bahan lemak dan mentahnya dijual untuk ekspor bahan coklat batangan. Meski baru mampu berproduksi sekitar 300 Kg per bulan, mentah masih banyak dijual ke pengepul seperti biasa tapi telah mampu menghasilkan produk coklat batangan siap konsumsi.

Berbeda dengan Pardan didusun Senare Lombok Utara, di pulau seberang  di Kabupaten Sumbawa Barat juga hadir sebuah industri kemasan bumbu dapur.  Amjad La Tonjo namanya yang mengemas bumbu dapur asam tanpa biji. Pria yang dulunya petani asam itu kini mencoba industri pengemasan di Batu Putih, Taliwang, Sumbawa Barat.

Sejak Agustus silam, Amjad menuturkan kini ia bisa menghasilkan produksi asam tanpa biji dalam kemasan hingga satu ton setiap bulannya. Bahan bakunya didapatkan dari para petani asam didaerahnya. “Saya masih menggunakan alat pengemasan skala kecil. Karena penjualannya makin banyak sampai ke Lombok, harapan saya dapat dibantu untuk alat pengemasan yang lebih besar karena bahan baku masih sangat mencukupi”, ujar Amjad via pesan singkat.

Pria asli Sumbawa ini juga  memproduksi penyedap rasa tanpa bahan pengawet. Dua produk itu dikemas dalam berbagai macam kemasan dengan pola pemasaran yang masih terbatas. Meski begitu, asam dalam kemasan sebagai wujud industrialisasi diakuinya memiliki nilai tambah dari cara tradisional yang dijual langsung di pasar dalam wadah bakul tidak bisa menembus mini market atau pusat belanja modern. “Karena itu dibutuhkan kemasan yang baik”, pungkasnya.

Cerita yang tidak jauh beda dituturkan  Latifa Minan, wanita asal Labuhan Haji  Lombok Timur. Ia yang tinggal di komplek pelabuhan ikan ini sehari hari melihat transaksi ratusan ton ikan di pelelangan yang dibawa nelayan. 

Bermula dari iseng-iseng, Anak nelayan  yang bekerja di salah satu yayasan di Mataram itu, kemudian mencoba mengolah hasil laut menjadi produk kemasan. Mulai dari kerupuk ikan, kerupuk cumi hingga Sambal Ikan Asin dan Sambel Cumi Kering. Dikemas dalam botol kaca dan plastic kedap udara, nama produk Duo Tunjung ini sudah dimulai bahkan sejak ia masih sekolah. Dengan alat industri pengemasan sederhana dan beberapa kotak pendingin bahan mentah, Latifa mengaku industri kecil ini cukup membuka lahan pekerjaan bagi warga sekitar yang ingin mengolah hasil laut tangkapan mereka terutama ibu ibu dan remaja perempuan keluarga nelayan Labuhan Haji. Saat ini iapun membina kelompok pengolahan hasil laut yang produksinya masih dipasarkan dari rumah ke rumah.“Kesulitannya masih soal bahan yang harus dipilih kualitasnya dan biasanya terbatas karena disini (Labuhan Haji) kebanyakan masih perdagangan ikan dan hasil laut segar belum untuk olahan karena membutuhkan alat industri pengolahan dan pengemasan itu”, jelas Latifa. 

Ternyata apa yang diceritakan oleh para wira usaha kecil itu, sejalan dengan apa yang sering diungkapkan Gubernur Dr.H.Zulkieflimansyah dalam berbagai kesempatan. Bahwa perjalanan panjang selalu dimulai dengan langkah pertama.
"Kalau NTB mau maju, kalau mau kemakmuran menyapa kita, kalau mau kesejahteraan bukan lagi impian, maka industrialisasi adalah jawabannya," tegasnya.
Menurut Gubernur yang akrab disapa Vang Zul itu, Industrialisasi tidak selalu harus dimaknai dengan pembangunan pabrik-pabrik besar, namun skala-skala kecil yang mampu mengolah bahan baku yang dihasilkan di NTB, sehingga bisa memberi nilai tambah bagi daerah untuk kesejahteraan masyarakat.

Gubernur berharap Kawasan Bisnis Center Science Technology, Industrial Park (STIP) akan mampu menjadi contoh terbaik bagi daerah-daerah lain di Indonesia. Karenanya,  STIP didesain tidak hanya sebagai pusat pengembangan industrialisasi dan bisnis, tetapi juga akan menjadi pusat edukasi, industrialisasi dan rekreasi. (inc)