Incinews.net
Minggu, 25 Agustus 2019, 19.22 WIB
Last Updated 2019-08-25T11:22:16Z
HeadlineOpini

Papua di Antara Rumpun Austronesia dan Non Austronesia


Oleh Mahsun

Opini- Klaim keberbedaan rumpun bahasa antara sebagian besar bahasa lokal yang terdapat di Papua dengan bahasa-bahasa lokal yang terdapat di kawasan lainnya di Indonesia telah dijadikan sebagai penegas identitas kemelanesiaan orang Papua. Apabila bahasa-bahasa lokal di Papua disebutnya sebagai bahasa-bahasa rumpun non-Austronesia, maka bahasa-bahasa lokal yang terdapat dikawasan lain selain di Papua di Indonesia dikelompokkan dalam rumpun Austronesia, yang oleh Wilhelm von Humboltdt (1836-839) dan Brandstetter (1906) disebut rumpun Melayu Polinesia. Penyebutan rumpun Austronesia dengan sebutan lain, yaitu Melayu Polinesia, telah memberi perangkat diadik baru dalam mengkontraskan antara orang Papua yang menuturkan bahasa rumpun Melanesia dengan orang yang menuturkan bahasa Austronesia di Indonesia, yaitu perangkat diadik/dikotomis: non-Austronesia versus Austronesia atau Melanesia versus Melayu (Polinesia). Baik Melanesia/non-Austronesia maupun Melayu Polinesia/Austronesia adalah bahasa-bahasa yang secara kategorial leksikostatistik tergolong dalam rumpun bahasa yang berdiri sendiri.

Sebagai kelompok bahasa yang berstatus rumpun yang berbeda, maka keberadaannya bagaikan dua garis lurus sejajar yang meskipun letaknya berdekatan namun tak akan pernah bertemu pada satu titik. Demikianlah, analogi orang Papua dalam memandang keberadaannya dengan etnis lainnya dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Atas dasar itulah isu keberbedaan secara fisik berupa: kulit hitam dan rambut keriting mendapat justifikasi kultural/kebahasaan,  sehingga mereka layak menyebut diri sebagai orang-orang Melanesia yang berpenutur bahasa  non-Austronesia.   Dengan kata lain, sebagaimana dinyatakan para aktivis Papua, Melanesia adalah rumpun non-Austronesia.

Kenyataan itu, selain menjadi alat pembeda dengan penutur bahasa-bahasa  Austronesia yang terdapat di Indonesia juga dijadikan sebagai salah satu penanda penguat perjuangan untuk membebaskan diri dari pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bagi mereka, mungkin, keberadaanannya bersama penutur bahasa rumpun Austronesia di Indonesia bagaikan dua garis lurus sejajar yang berdekatan letaknya, namun eksistensinya hanya ditentukan oleh kondisi tak mungkin bersatu. Persoalannya, apakah benar bahasa-bahasa lokal yang dituturkan di wilayah Papua memiliki kategori rumpun yang berbeda dengan bahasa-bahasa lokal lainnya di Indonesia? Dengan kata lain, apakah benar rumpun bahasa yang disebut sebagai rumpun Melanesia itu non-Austronesia.

Seberapa kuat data kebahasaan yang mendukung  bahwa bahasa-bahasa di Papua itu merupakan bahasa rumpun Melanesia bukan rumpun Austronesia? Bagaimanakah fakta-fakta nonlinguistik memberi dukungan pada fakta kebahasaa dalam peneglompokan bahasa Austroensia dan non-Austronesia di Indonesia?

Dyen (1965) dan Blust (1977 dan 1999) mengidentifikasi bahwa  bahasa-bahasa di Papua merupakan bahasa-bahasa yang memiliki rumpun berbeda dengan bahasa-bahasa lokal di Indonesia lainnya. Mereka menyebutnya sebagai bahasa rumpun non-Austronesia, yang dalam peta bahasa yang di keluarkan oleh Summer Institute of Linguistics (SIL) Internasional, dalam buku "Ethnologue: Languages of the World, Edisi 15 (2005) dikelompokkan atas Filum Trans Nugini dan Filum Papua  Barat. Beberapa ciri bahasa-bahasa di Papua yang non-Austronesia tersebut oleh Himmelmann (2005), Mariam Klamer dkk.(2008), dan Schapper (2015),di antaranya disebutkan: (a) memiliki konstruksi milik yang membedakan antara alienable dan inalienable, (b) pada konstruksi milik yang bersifat alienable terdapat penanda milik yang berupa kata hubung, dan (c)  memiliki konstruksi yang urutannya: nomina/kata benda + kata bilangan. Adapun ciri-ciri bahasa Austronesia kebalikan dari ciri-ciri di atas.

Persoalannya, apakah benar bahasa-bahasa lokal selain bahasa di Papua itu tidak memiliki ciri-ciri yang oleh para pakar mancanegara itu diklaim sebagai ciri non-Austronesia, yang belakangan oleh para aktivis Papua menyebutnya ciri Melanesia? Untuk menjawab pertanyaan itu ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu apa yang disebut dengan istilah konstruksi miliki alienable dan inalienable. Kedua istilah itu, masing-masing merujuk pada konstruksi miliki yang unsur pemilik/posesor dengan unsur temilik dapat diasingkan/dipisahkan satu sama lain, sehingga di antaranya terdapat pemarkah miliki, misalnya dalam bahasa Nambrong (Papua): ngayo de móaq  ’ayah mempunya baju’. Unsur: /de/ pada konstruksi milik tersebut merupakan penanda milik yang dapat diartikan: 'mempunyai atau punya'. Adapun istilah konstruksi milik inalienable adalah konstruksi milik yang antara unsur pemilik/posesor dengan unsur termilik/posesum tidak dapat diasingkan/dipisahkan karena sudah terkandung di dalamnya, misalnya dalam bahasa Nambrong (Papua):  ngambe təmbriη ’saya (mempunyai:ø) hidung’.

Penanda miliki: de yang berarti mempunyai tidak hadir ketika unsur pemilik/posesornya berupa pronomina atau kata ganti orang, berbeda jika unsur pemiliknya bukan pronomina, bandingkan kedua contoh di atas. Persoalannya, apakah konstruksi milik yang membedakan antara  alienable dengan  inalienable tidak terdapat dalam bahasa-bahasa yang mereka klasifikasi rumpun Austronesai? Untuk itu, contoh bahasa Sumbawa (dialek Jereweh) berikut memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Dalam bahasa Sumbawa dialek Jereweh ditemukan konstruksi milik: bale kaku atau baleku atau balek 'rumah saya' dan bale-n sia 'rumah Anda' serta bale-n Ali 'rumah Ali'.

Pada konstruksi milik yang berupa pronomina pertama (aku, ku, k), tidak muncul penanda miliki berupa konsonan: /n/ yang dapat dihubungkan dengan penanda milik bahasa Jawa: kelambi ne Amer 'baju kepunyaan Amer' atau dalam bahasa Wandamen (Papua): i-ne nomi 'saya mempunya tangan', dan selanjutnya dapat dihubungkan dengan bentuk dalam bahasa  Purba Austronesia *nia 'mempunyai, punya'. Data ini membuktikan bahwa ciri pembeda alienable dan  inalienable untuk membedakan antara bahasa non-Austonesia dengan Austronesia tidak dapat diterima.

Kemudian, ciri kedua bahwa pada bahasa konstruksi milik non-Austronesia yang  alienable (ciri b), memiliki kata hubung/penanda milik, misalnya dalam bahasa Tarfia (Papua): duk ni siwik 'saya mempunyai hidung' atau pada bahasa Nambrong (Papua): Derek de usu 'Derek (nama orang) mempunyai kebun.'. Unsur ni dan de pada kedua contoh dalam bahasa Papua tersebut masing-masing merupakan penanda milik yang berarti mempunyai atau punya, yang kedua-duanya diturunkan dari unsur penanda miliki bahasa Purba Ausatronesia *nia.

Melalui proses penghilangan vokal: /a/ maka muncullah: /ni/ dan melalui proses kontraksi antara vokal: /a/ dengan /i/ pada bentuk bahasa Purba Austronesia diikuti perubahan /n/ menjadi: /d/ maka muncullah penanda milik dalam bahasa Nambrong: /de/  tersebut. Kemudian, apakah konstruksi semacam itu tidak terdapat pada bahasa-bahasa yang oleh para sarjana mancanegara itu diklaim sebagai bahasa Austronesia? Data dalam bahasa Jawa dan bahasa Sasak, sebagai contoh, akan menjawab persoalan itu.

Dalam bahasa Jawa ditemukan konstruksi milik: klambi ne Amer  < klambi 'baju' + ne (penanda milik) + Amer 'Amer' --'Baju kepunyaan Amer, baju Amer' dan irunge Amer < irung 'hidung' + e (penanda milik) + Amer 'Amer' -- 'hidung kepunyaan Amer, hidung Amer', dan dalam bahasa Sasak ditemukan konstruksi milik: amangku < amaq 'ayah' + ng (penanda milik) + ku 'saya'-- 'ayah kepunyaan saya, ayahku' dan balen de < bale 'rumah' + n (penanda milik) + de < side 'anda'-- 'rumah kepunyaan anda'. Baik penanda milik dalam bahasa  Jawa: /ne/ dan /e/ maupun penanda milik dalam bahasa Sasak: /ng/ dan/n/ merupakan penanda milik yang diturunkan dari penanda milik bahasa Purba Austronesia: *nia 'mempunyai, punya'. Melalui proses kontraksi vokal /a/ dan /i/ bentuk purbanya menjadi: /e/ dalam bahasa Jawa, sehingga ditemukan bentuk: /ne/, kemudian bentuk: /e/ muncul melalui penghilangan konsonan /n/ pada bentuk /ne/ ketika unsur pemiliknya berakhir dengan konsonan, seperti pada kata: irung-e 'hidungnya'. Kaidahnya, apabila unsur pemilik pada konstruksi milik bahasa Jawa berakhir vokal, maka penanda milik Bahasa Purba Austronesia *nia berubah menjadi: /ne/,  seperti pada klambi ne, dan menjadi: /e/ jika unsur pemiliknya berakhir vokal, seperti pada: irung-e. Patut ditambahkan bahwa kontraksi antara vokal: /i/ dengan /a/ menjadi vokal /e/ merupakan perubahan yang teratur dalam sistem bunyi bahasa Jawa, misalnya: ka + sui 'lama' + an > kasuian > kesuen 'kelamaan', ka + bupati + an > kabupatian > kabupaten dll.

Patut dicatat bahwa, munculnya kata kabaupaten dalam banyak bahasa lokal di Indonesia termasuk dalam bahasa Papua merupakan salah satu wujud hegemoni bahasa, sekaligus hegemoni Jawa atas wilayah lainnya. Namun, hal itu tak perlu dirisaukan karena fakta sejarah tak dapat diingkari bagaimana besarnya pengaruh kerajaan Majapahit atas kerajaan-kerajaan yang terdapat di Nusantara pada masa lampau. Untuk penanda milik dalam bahasa Sasak pun dapat dijelaskan melalui proses penghilangan vokal /i/ dan/a/ bentuk purba Austronesia, lalu bunyi nasal /n/ akan menyesuaikan diri sesui konsonan awal unsur posesornya. Oleh karena posesornya berfonem awal: /k/ pada kata /ku/ maka bunyi nasal menjadi /ng/, kemudian karena fonem awal posesor pada konstruksi milik kedua dalam bahasa Sasak itu adalah /d/pada kata de/side 'anda', maka penanda milik berupa bunyi nasal tersebut mewujudkan diri menjadi bunyi: /n/.

Selanjutnya, ciri ketiga bahwa bahasa-bahasa di Papua yang termasuk tipe bahasa tidak simetris (no symmetrical voice), memiliki konstruksi yang berstruktur: kata benda + kata bilangan, misalnya: dalam bahasa Sou Amana Teri (dikutip dari Musgrave dan Donohue dalam Nothofer, 2016) ditemukan konstruksi: asu inai teru < asu 'anjing' + inai 'ekor' + teru 'tiga'-- 'asu ekor tiga' = 'anjing tiga ekor'. Data ini menunjukkan bahwa kata benda asu 'anjing' mendahului kata bilangan: teru 'tiga', sedangkan dalam bahasa-bahasa tipe simetris, yang umunya bahasa-bahasa  Austronesia disebutkan tak memiliki struktur semacam ini.

Lalu bagaimana dengan konstruksi dalam bahasa Sumbawa (merupakan salah satu bahasa Austronesia) berikut ini: ada asuq telu kodeng pang bale 'ada  anjing tiga ekor di rumah = ada tiga ekor anjing di rumah'. Kata benda asuq 'anjing' diikuti oleh kata bilangan: telu 'tiga'. Struktur ini tidak berbeda dengan struktur yang terdapat dalam bahasa Sou Amana Teri di atas. Dengan demikian, ketiga ciri bahasa-bahasa non-Austronesia (aktivis Papua menyebutnya Melanesia) dimiliki juga oleh bahasa rumpun Austronesia, seperti dalam bahasa Sumbawa. Oleh karena ketiga ciri itu sama-sama dimiliki oleh bahasa-bahasa di Papua dan bahasa (-bahasa) lokal lainnya, maka sesungguhnya, baik bahasa-bahasa yang disebut rumpun Melanesia di atas maupun bahasa-bahasa lokal lainnya di Indonesia memiliki asal moyang bahasa yang sama, yaitu sama-sama rumpun Austronesia.

Patut ditambahkan bahwa bukti yang diajukan itu merupakan bukti gramatika yang memiliki tingkat daya tahan yang tinggi dibandingkan dengan bukti fonologis (bunyi) dan leksikal (kosakata). Secara diakronis/historis, bahasa-bahasa di dunia mengalami perubahan yang sangat besar pada tataran bunyi (fonologi) dan tataran leksikal (kosakata), karena itu kedua tataran ini banyak terjadi peminjaman/serapan antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain. Berbeda dengan tataran gramatika (tatabahasa), dalam studi diakronis jarang dipinjam/diserap, memiliki daya tahan yang cukup tinggi. Oleh karena itu, bukti-bukti gramatika jauh lebih kuat dibandingkan bukti lainnya dalam pengelompokan bahasa.

Selain bukti linguistik/kebahasaan di atas, di sini akan dikemukan bukti nonlinguistik yaitu bukti secara genetis. Meriam Klamer dalam artikel: "The Dispersal of Austronesian Languages in Island South East Asia: Current Findings and Debates", dimuat dalam jurnal: Language and Linguistics Compass, Volume 12, Issue 4, April 2019, menunjukkan bahwa bukti genetika tidak cukup kuat, karena sering fakta genetis tidak selalu sepadan dengan fakta bahasa, "...that the histories reflected in languages, archeological findings and human genetics do not always converge..." (Klamer, 2019).

Apa yang dinyatakan oleh Klamer tersebut dapat diterima jika memperhatikan riset yang dilakukan para ahli genetika selama ini mengambil data sera/darah untuk tujuan pemeriksaan gen pada sampel anak-anak sekolah atau sampel darah yang diperoleh dari rumah sakit. Anak-anak sekolah (menegah atas) atau sampel darah dari rumah sakit sulit dijamin berasal dari penutur bahasa yang sama. Rasa-rasanya sulit menemukan sebuah sekolah menengah yang siswanya berasal dari penutur bahasa yang sama, lebih-lebih di rumah sakit.

Sampel darah yang berasal dari penutur bahasa yang berbeda lalu dicoba tarik sebuah generalisasi yang merefleksikan penutur sebuah bahasa merupakan kegiatan ilmiah yang gagal secara metodologis. Itu sebabnya, sejak 2008--2015, penulis menjalin kerja sama dengan Prof. Dr. Mulyanto, pakar hepatika Universitas Mataram melakukan riset bersama di bawah payung: "Bahasa Genom", sebuah proyek kebahasaan di Pusat Bahasa, sekarang Badan Bahasa dan Perbukuan, Kemendikbud.

Tujuan riset itu adalah membuktikan apakah benar di Indonesia terdapat rumpun Austronesia dan non-Austronesia? Itu sebabnya, sampel yang dipilih adalah sampel dari dua kelompok bahasa yang diklaim berbeda. Dengan mengacu pada hasil publikasi penelitian bahasa-bahasa di dunia, dalam hal ini: Ethnologue, yang diterbitkan SIL tersebut. Untuk Papua, tim riset menetapkan dua sampel yang mewakili kelompok non-Austronesia: bahasa Nambrong dan bahasa Gresi, untuk sampel Austronesia diambil bahasa: Tarfia dan Tobati; di NTT untuk sampel kelompok non-Austronesia: bahasa Adaang dan Abui, sedangkan untuk sampel Austronesia: bahasa Alor/Dulolong; di Maluku untuk sampel non-Austronesia: bahasa Ternate dan sampel Austronesia: bahasa Makian Timur.

Dua tim riset: tim bahasa dan tim genetika Virus Heoatitis B (VHB) diterjunkan ke lokasi yang sama dalam waktu yang bersamaan. Tim kebahasaan mengambil data bahasa dan tim genetika VHB mengambil tidak kurang dari 500 data sera/darah dari penutur bahasa yang sama dengan data kebahasaan.  Setelah masing-masing tim melakukan analisis sesuai kerangka analisis dalam masing-masing diusiplin ilmu, lalu hasilnya dihubung-bandiungkan, hasilnya adalah: (a)  VHB untuk penutur bahasa baik yang diklaim non-Austronesia maupun Austronesia di Papua memiliki kesamaan, yaitu sama-sama subgenotipe: C6; untuk sampel di NTT, kedua kelompok penutur bahasa yang diklaim berbeda tersebut memiliki subgenotipe VHB yang sama, yaitu: B9, dan untuk sampel di Maluku juga memiliki subgenotipe yang sama, yaitu: C3 (Mulyanto dkk., 2011, 2012). Artinya, secara genetis (genetika VHB) baik penutur yang non-Austronesia maupun Austronesia di masing-masing wilayah sampel tersebut memiliki gen yang sama.

Dengan demikian, baik secara linguistis maupun gentis antara penutur bahasa-bahasa di Papua dan penutur bahasa lokal lain yang ada di Indonesia berasal dari asal yang sama. Persoalan yang muncul kemudian, dari manakah mereka berasal? Apabila antara bahasa-bahasa di Papua dan bahasa-bahasa lokal lainnya yang terdapat  di Indonesia memiliki pertalian genetis pada leluhur yang sama, mengapa fakta hasil kajian ilmu pengetahuan itu tidak dijadikan bahan dalam rangka membangun keindonesiaan yang beralaskan Pancasila? Pancasila sebagai dasar negara mesti mampu menjadi dasar pijakan semua etnis, golongan, agama, kepercayaan, dll.

Untuk hidup berdampingan secara damai, adil, dan makmur dalam bingkai NKRI.  Itu sebabnya, tantangan terbesar bagi ideologi Pancasila di tengah kondisi keindonesiaan kita, baik secara vertikal maupun horisontal adalah menerjemahkan tulisan di atas pita yang dicengkram oleh Garuda, yaitu: "Bhinneka Tunggal Ika", lalu diterapkan dalam tindakan nyata. Semboyan yang bermakna, "berbeda-beda tetapi tetap satu" mengandung spirit bahwa untuk dapat bersatu dalam keberagaman harus diawali dengan komunikasi menunju saling mengenal satu sama lain.

Hasil ilmu pengetahuan, seperti kajian linguistik diakronis, genetika di atas beserta hasil ilmu pengetahuan bidang lain yang relevan tentu dapat dimanfaatkan untuk memahami atau meluruskan pemahaman yang keliru satu sama lain di antara anak bangsa. Stereotipe-stereotipe yamng muncul antaretnis pembentuk Indonesia dapat diluruskan. Sudah sepantasnya Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila bekerja atas dasar fakta empirik keindonesiaan untuk membumikan Pancasila, bukan mengawang-awang dalam dunia ideal tanpa pijakan di bumi.

Bahan-bahan kegiatan Suluh Kebangsaan, misalnya dialog-dialog kebangsaan yang dilakukan ke segmen sosial masyarakat Indonesia, seperti ke kampus-kampus, hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan, bukan bahan yang terstandarkan secara nasional yang tidak realistis. Sekadar pengandaian, jika "cahaya" yang bersinar di alam pikiran saudara-saudara kita di Papua, yaitu cahaya tentang keberadaan mereka, yang berkulit hitam, berambut keriting, menuturkan bahasa non-Austronesia yang membedakan dirinya dengan saudara-saudaranya yang berada di daerah lain, maka dalam kerangka Suluh Kebangsaan mestinya cahaya yang dipancarkan lebih kuat untuk menertralisi cahaya itu.

Sudah tentu materi suluh kebangsaan itu tidak relevan di tempat lain, yang persoalan dalam mempersepsikan salah satu spirit kebangsaan dalam Pancasila berbeda dengannya. Ihwal bagaimana kerangka kasar pengindonesiaan orang Papua yang dikonsepsikan penulis akan dituangkan dsalam artikel terakhir dari tiga atikel yang terkait dengan masalah ke-Papua-an/Kemelanesiaan yang relevan dengan bidang keahlian penulis, dengan judul: "Membangun Bangsa Mulai dari Papua Tempat Leluhur Rumpun Austronesia". Sampai bertemu pada artikel ketiga.

(Penulis Adalah Guru Besar Bidang Linguistik, Universitas Mataram
Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud 2012-2015)