Oleh : Edy Suparjan, M.Pd
Opini -Setelah
Jepang membentuk Dokuritsu Junbi Cosaiki pada tanggal 29 April 1945 dan dilakukan
pengukuhan pada tanggal 28 Mei 1945. Kerajaan Jepang menunjuk Radjiman
Wediodiningrat sebagai Ketua karena pengalamannya sebagai mantan Ketua Budi
Utomo. Setelah dilakukan pengukuhan pada tanggal 28 Mei 1945. Jumlah
keanggotaan BPUPKI mencapai 62 orang dengan perwakilan Islam sebanyak 15 orang,
diantaranya adalah Abikusno Tjokrosoejoso, K.H. Ahmad Sanusi, Ki Bgus
Hadikusumo, Kiai Mas Mansyur, Kahar Muzakar, Agus Salim dan Kiai Wahid Hasyim.
Pada saat itu, Radjiman selaku ketua meminta kepada anggotanya bagaimana dan
seperti apa dasar negara Indonesia. Dari jumlah anggota yang hadir hanya tiga
orang yang memenuhi permintaan sang
Ketua. Yaitu Mr. Muh. Yamin, Mr. Soepomo dan Ir. Soekarno.
Akhirnya,
pada tanggal 29 Mei 1945 Yamin merumuskan lima dasar negara yaitu; Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri
Ketuhanan, Peri Kerakyatan dan Peri Kesejahteraan.
Pada
tanggal 31 Mei 1945 Mr. Soepomo menamakan pidatonya “Dasar negara Indonesia
Merdeka” sebagai berikut ; Persatuan,
Kekeluargaan, mufakat dan demokrasi, Musyawarah dan Keadilan sosial.
Sementara
tanggal 1 Juni 1945 Ir. Soekarno menyampaikan pidatonya ; Kebangsaan Indonesia, Peri Kemanusiaan atau Internasonalisme, Mufakat
atau demokrasi, Kesejahteraan sosial dan Ketuhanan.
Ketiga
pandangan tokoh diatas sama-sama memfokuskan diri tentang dasar negara, yang
unik berasal dari Soekarno karena memberikan nama dasar negara tersebut, dengan
tawaran nama yaitu;Pancasila,Eka Sila atau Tri Sila. Dan akhirnya seluruh tokoh yang
hadir memilih Pancasila sebagai nama dasar negara.Baik Prof. Sunaryo maupun Moedjanto
sama-sama meyakini bahwa Bung Karno salah seorang penggali dasar negara dan
bukan satu satunya penggagas.
Perlu
kita pahami bahwa Pancasila ibarat merek suatu produk yang didalamnya memiliki
isi yang berbeda. Untuk memproteksinya kita harus memahami rumusan dasar negara
yang autentik yang disepakati pada tanggal 18 Agustus 1945. Kalau kita tidak
memahami rumusannya yang autentik Pancasila sebagai merek, bisa saja isinya ditukar. Misalnya kembali ke isi
Pancasila 1 Juni atau ke rumusan lainya. hal ini tentu akan menjadi kerawanan tersendiri. Bagaimanapun
juga berdasarkan TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 menegaskan bahwa rumusan dasar
negara sebagaimana yang ditetapkan PPKI dan didalam pembukaan UUD 1945 adalah
Pancasila. Letak kerawanan Pancasila 1 Juni adalah sila kedua
tentang Internasionalisme,
tentu akan memberikan peluang ideologi (isi) lain masuk dan hal ini pernah
terjadi ketika Bung Karno menerapkan konsep Nasakom dalam demokrasi
terpimpinnya. Ada baiknya kita kutip pidato D.N Aidit yang menafsirkan
Pancasila 1 Juni 1945.
“Dan disinilah betulnya pantjasila sebagai
alat pemersatu. Sebab kalau sudah satu semuanya para saudara pantjasila ndak
perlu lagi ada Pantjasila. Sebab Pantjasila adalah alat pemersatu, bukan. Sebab
kalau sudah “satu” apa yang kita
persatukan lagi. Djustru kita berbeda-beda perlunya Pantjasila itu. Ada Nas, ada A, ada Kom...”Moedjanto,
(2003:202). Dari pernyataan diatas sudah
jelas bahwa banyak oknum-oknum tertentu yang ingin memasuki isi yang lain dalam
merek Pancasila yang autentik. Dan harus kita sadari bahwa
kekeliriuan-kekeliriuan yang pernah terjadi di orde lama tidak akan terulang
kembali pada masa sekarang dan yang akan datang.
Penulis
sepakat dengan ungkapan Bapak Moedjanto, “kalau ada orang yang mengatakan bahwa
tanggal 1 Juni 1945 adalah hari lahir Pancasila, Pancasila yang mana...?. kalau
jawabannya adalah Pancasila nya Bung Karno, pastilah akan dibenarkan.. tapi kalau Pancasila yang sekarang ini
sebagaimana terrmaktub dalam UUD 1945. Tentu tidak benar, karena Pancasila
sekarang ini bukan saja bersumber dari Bung Karno, tapi bersumber dari Mr.
Yamin, Mr. Soepomo lalu kemudian dari rancangan Panitia 9 yang kita kenal
dengan Piagam Jakarta. Karena piagam Jakarta pun di protes oleh saudara-saudara
dari Indonesia timur karena ada kata “Kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya”. Oleh Muh. Hatta menyarankan agar 7 kata dihapus, hal
tersebut ditolak oleh Ki Bagus
Hadikusumo sampai akhirnya Mr. Kasman
meminta dengan hormat kepada Ki Bagus agar saran dari Hatta diterima
demi Indonesia merdeka.