Incinews.net
Sabtu, 01 Juni 2019, 23.02 WIB
Last Updated 2019-06-01T15:09:44Z
HeadlineOpini

Para Penggagas Pancasila


Oleh : Edy Suparjan, M.Pd

Opini -Setelah Jepang membentuk Dokuritsu Junbi Cosaiki  pada tanggal 29 April 1945 dan dilakukan pengukuhan pada tanggal 28 Mei 1945. Kerajaan Jepang menunjuk Radjiman Wediodiningrat sebagai Ketua karena pengalamannya sebagai mantan Ketua Budi Utomo. Setelah dilakukan pengukuhan pada tanggal 28 Mei 1945. Jumlah keanggotaan BPUPKI mencapai 62 orang dengan perwakilan Islam sebanyak 15 orang, diantaranya adalah Abikusno Tjokrosoejoso, K.H. Ahmad Sanusi, Ki Bgus Hadikusumo, Kiai Mas Mansyur, Kahar Muzakar, Agus Salim dan Kiai Wahid Hasyim. Pada saat itu, Radjiman selaku ketua meminta kepada anggotanya bagaimana dan seperti apa dasar negara Indonesia. Dari jumlah anggota yang hadir hanya tiga orang yang memenuhi  permintaan sang Ketua. Yaitu Mr. Muh. Yamin, Mr. Soepomo dan Ir. Soekarno.

Akhirnya, pada tanggal 29 Mei 1945 Yamin merumuskan lima dasar negara yaitu; Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan dan Peri Kesejahteraan.

Pada tanggal 31 Mei 1945 Mr. Soepomo menamakan pidatonya “Dasar negara Indonesia Merdeka” sebagai berikut ; Persatuan, Kekeluargaan, mufakat dan demokrasi, Musyawarah dan Keadilan sosial.

Sementara tanggal 1 Juni 1945 Ir. Soekarno menyampaikan pidatonya ; Kebangsaan Indonesia, Peri Kemanusiaan atau Internasonalisme, Mufakat atau demokrasi, Kesejahteraan sosial dan Ketuhanan.

Ketiga pandangan tokoh diatas sama-sama memfokuskan diri tentang dasar negara, yang unik berasal dari Soekarno karena memberikan nama dasar negara tersebut, dengan tawaran  nama yaitu;Pancasila,Eka Sila atau Tri  Sila. Dan akhirnya seluruh tokoh yang hadir memilih Pancasila sebagai nama dasar negara.Baik Prof. Sunaryo maupun Moedjanto sama-sama meyakini bahwa Bung Karno salah seorang penggali dasar negara dan bukan satu satunya penggagas.

Perlu kita pahami bahwa Pancasila ibarat merek suatu produk yang didalamnya memiliki isi yang berbeda. Untuk memproteksinya kita harus memahami rumusan dasar negara yang autentik yang disepakati pada tanggal 18 Agustus 1945. Kalau kita tidak memahami rumusannya yang autentik Pancasila sebagai merek, bisa  saja isinya ditukar. Misalnya kembali ke isi Pancasila 1 Juni atau ke rumusan lainya. hal ini tentu akan  menjadi kerawanan tersendiri. Bagaimanapun juga berdasarkan TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 menegaskan bahwa rumusan dasar negara sebagaimana yang ditetapkan PPKI dan didalam pembukaan UUD 1945 adalah Pancasila. Letak kerawanan Pancasila 1 Juni adalah  sila kedua  tentang Internasionalisme, tentu akan memberikan peluang ideologi (isi) lain masuk dan hal ini pernah terjadi ketika Bung Karno menerapkan konsep Nasakom dalam demokrasi terpimpinnya. Ada baiknya kita kutip pidato D.N Aidit yang menafsirkan Pancasila 1 Juni 1945.

Dan disinilah betulnya pantjasila sebagai alat pemersatu. Sebab kalau sudah satu semuanya para saudara pantjasila ndak perlu lagi ada Pantjasila. Sebab Pantjasila adalah alat pemersatu, bukan. Sebab kalau sudah “satu”  apa yang kita persatukan lagi. Djustru kita berbeda-beda perlunya Pantjasila  itu. Ada Nas, ada A, ada Kom...”Moedjanto, (2003:202). Dari pernyataan  diatas sudah jelas bahwa banyak oknum-oknum tertentu yang ingin memasuki isi yang lain dalam merek Pancasila yang autentik. Dan harus kita sadari bahwa kekeliriuan-kekeliriuan yang pernah terjadi di orde lama tidak akan terulang kembali pada masa sekarang dan yang akan datang.

Penulis sepakat dengan ungkapan Bapak Moedjanto, “kalau ada orang yang mengatakan bahwa tanggal 1 Juni 1945 adalah hari lahir Pancasila, Pancasila yang mana...?. kalau jawabannya adalah Pancasila nya Bung Karno, pastilah akan dibenarkan..  tapi kalau Pancasila yang sekarang ini sebagaimana terrmaktub dalam UUD 1945. Tentu tidak benar, karena Pancasila sekarang ini bukan saja bersumber dari Bung Karno, tapi bersumber dari Mr. Yamin, Mr. Soepomo lalu kemudian dari rancangan Panitia 9 yang kita kenal dengan Piagam Jakarta. Karena piagam Jakarta pun di protes oleh saudara-saudara dari Indonesia timur karena ada kata “Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya”. Oleh Muh. Hatta  menyarankan agar 7 kata dihapus, hal tersebut  ditolak oleh Ki Bagus Hadikusumo sampai akhirnya Mr. Kasman  meminta dengan hormat kepada Ki Bagus agar saran dari Hatta diterima demi Indonesia merdeka.