Incinews.net
Jumat, 03 Mei 2019, 11.32 WIB
Last Updated 2019-05-03T03:32:48Z
Opini

II Profesi Bentrok Pada Momentum 2 Mei :Potret Buram Hardiknas Kabupaten Bima



Opini- Upacara hari Dua Mei  atau dikenal dengan hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) berlangsung ramai,m di halaman kantor Bupati Bima. hampir semua jajaran pendidikan ikut memeriahkan hari kebanggaan Pendidikan Indonesia itu. Dibalik kemeriahan hultah tersebut, terdapat aksi yang justru menjatuhkan citra pendidikan terutama para guru.

Kejadian itu barawal dari tindakan oknum sat pol Pp yang menghadang para guru karna beralasan terlambat. menahan guru itu memang hal biasa karna Polpp sedang menerapkan kedisiplinan apalagi pendidikan merupakan elemant penting dan utama yang mengajarkan kedisiplinan. Tapi yang menjadi masalah bukan penahanan di depan gerbang tapi kekerasan verbal yang dilakukan oleh oknum Polpp terhadap beberapa peserta upacara, itu masalahnya. Kata-kata kotor yang seharusnya tidak keluar dari mulut satuan Polpp.

Kejadian itu terjadi disaat berlangsungnya upacara. Upacara Hardiknas berlangsung  hikmad, amanat menteri Pendidikan Nasional yang dibacakan oleh pembina upacara tentang potret pendidikan Indonesia menambah energi tersendiri bagi peserta upacara, terutama dari kalangan guru.

Beberapa menit sebelum upacara selesai terlihat barisan Polpp berjejer di belakang peserta upacara sembari mendengarkan arahan komandannya yang sesekali memberikan yel-yel. Suasana terlihat panas di saat beberapa orang peserta yang berseragam Korpri mengajukan protes ke komandan Polpp atas kekerasan verbal yang dilakukan oleh oknum Polpp. suasanapun semakin tidak terkendali, bagaimana tidak, beberapa dari guru dengan jumlah banyak termasuk penulis berusaha masuk menerobos barisan satpolpp merasa tindakan oknum Polpp itu merupakan bentuk penghinaan terhadap guru dan mendesak sat Polpp untuk mengklarifikasi dan memohon maaf atas insiden itu. Tapi aneh, yang seharusnya Polpp meminta maaf, malah oknum Polpp memberikan serangan terhadap guru menggunakan sangkur.  Dengan muka sangar berusaha mendekati kerumunan guru  dan àksinya pun dihadang oleh anggota  satuannya yang lain. Entah apa yang terjadi jika sangkur membuat guru tersungkur.

Sudah jatuh tertimpa tangga. itu kira kira ungkapan yang pas dirasakan guru saat hardiknas itu, cekcok guru dan Polpp semakin tidak menemukan jalan keluar. Pihak guru yang merasa dihina semakin menunjukan perlawanan dengan tensi emosi tinggi. Siapapun orangnya ketika dihadapkan dengan situasi itu pasti terbawa emosi karena guru merasa tidak dihargai apalagi mengancam guru dengan menggunakan senjata tajam yang melekat di pakaian dinasnya. yang seharusnya di hari ulang tahunnya, Pendidikan diberikan kado indah tapi  justru penghinaan yang dinisbatkan.

Setiap elemen pendidikan merasa geram dengan tindakan oknum Polpp. Berbagai unsur pendidikan dalam hal ini PGRI ikut merespon kejadian itu. tampil dan ikut terlibat dalam suasana bentrok guru dan Polpp di halaman kantor bupati dengan mencari solusi penanganan masalah yang sesekali berusaha meredam amarah para guru. beberapa dari guru terus melawan dan mendesak Polpp meminta maaf atas kejadian itu. lagi dan lagi harapan yang sia sia justru oknum Polpp jauh lebih amarah.

Bentrok guru dan Polpp sedikit mereda setelah perwakilan dari PGRI memfasilitasi bertemu dengan BUPATI Bima yang pada saat itu diwakili oleh salah satu unsur pejabat lingkup kabupatena Bima. Ditempat mediasi suasana semakin hangat. para guru menyampaikan perasaannya. persaan sakit setelah mendapat kekerasan verbal dan ancaman fisik dari Polpp. tapi anehnya lagi pihak Polpp tidak meminta maaf justru yang minta maaf pejabat lain yang berdasi. Penulis kurang tahu identitasnya. Patut disesali ketika mediasi itu hanya berlangsung sesaat di halaman kantor Bupati dan hanya sampai pada bawahan Bupati. yang seharusnya persoalan ini harus ditangani langsung oleh Bupati Bima. karna bagi guru itu adalah masalah besar.

Begitulah Hardiknas Kabupaten Bima tahun 2019. sebuah potret yang mencerminkan betapa pendidikan dalam hal ini guru tidak dilindungi dan dihargai oleh profesi lain.
 
Teringat sejarah Jepang. Ketika bom atom meluluh lantakkan kota Heroshima dan Nagashaki pada agustus 1945, Kaisar Jepang yang terpukul akibat serangan bom Amerika berusaha tegar sembari meluncurkan satu pertanyaan yang mungkin dianggap sederhana tapi sangat mendalam." ada berapa orang guru  yang masih hidup" . tanya sang kaisar yang sama sekali tidak menanyakan berapa jumlah tentara yang masih hidup. Kaisar Jepang  itu sangat tegar dan benar dengan pertanyaannya tersebut. Apa yang terjadi jika suatu bangsa tidak memiliki guru guru terampil dan andal. para murid pernah diajar oleh guru gurunya. mereka tidak pernah menyebut mantan guru terhadap sesorang yang pernah berdiri didepan kelas di masa mereka sekolah. (flash back buku sekolah ditengah ancaman Bom

Inilah potret pendidikan di negara Jepang yang menjadikan pendidikan sebagai pelopor pembangunan bangsa. betapa guru dihargai seakan didewakan di negeri itu.

Dengan kejadian tanggal 2 mei , menunjukan betapa guru direndahkan martabatnya, dilecehkan profesinya dan diabaikan perlindungannya.
ketika para guru di sekolah, di saat mendidik, terkadang mendapat kekerasan dari siswa. bahkan ada yang meninggal karna kekerasan yang dilakukan siswanya. menjadi guru pekerjaan berat, lebih berat dari profesi lainnya. olehnya demikian, saatnya guru diposisikan sebagai manusia yang tinggi martabatnya bukan sebaliknya.

Siswa yang berbuat kasar pada guru masih bisa diberikan toleransi mungkin karena pertimbangan berasal dari latar belakang sosial yang buruk dan kondisi keluarga broken home dan masih butuh sentuhan pendidikan, itupun harus melewati proses penanganan yang alot.  Tapi ketika ada oknum aparat yang berada di sebuah sistem, tindakannya diatur oleh sistem, melakukan tindakan represif terhadap guru apakah wajar dan pantas diberikan toleransi?
#selamatkan guru indonesia#

Penulis adalah Syahrul Ama La Shima (wakil sekretaris PGRI Kecamatan Parado)