Opini- Upacara hari Dua Mei atau
dikenal dengan hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) berlangsung ramai,m di
halaman kantor Bupati Bima. hampir semua jajaran pendidikan ikut memeriahkan
hari kebanggaan Pendidikan Indonesia itu. Dibalik kemeriahan hultah tersebut,
terdapat aksi yang justru menjatuhkan citra pendidikan terutama para guru.
Kejadian itu barawal dari tindakan oknum sat pol Pp yang menghadang para
guru karna beralasan terlambat. menahan guru itu memang hal biasa karna Polpp
sedang menerapkan kedisiplinan apalagi pendidikan merupakan elemant penting dan
utama yang mengajarkan kedisiplinan. Tapi yang menjadi masalah bukan penahanan
di depan gerbang tapi kekerasan verbal yang dilakukan oleh oknum Polpp terhadap
beberapa peserta upacara, itu masalahnya. Kata-kata kotor yang seharusnya tidak
keluar dari mulut satuan Polpp.
Kejadian itu terjadi disaat berlangsungnya upacara. Upacara Hardiknas
berlangsung hikmad, amanat menteri
Pendidikan Nasional yang dibacakan oleh pembina upacara tentang potret
pendidikan Indonesia menambah energi tersendiri bagi peserta upacara, terutama
dari kalangan guru.
Beberapa menit sebelum upacara selesai terlihat barisan Polpp berjejer di
belakang peserta upacara sembari mendengarkan arahan komandannya yang sesekali
memberikan yel-yel. Suasana terlihat panas di saat beberapa orang peserta yang
berseragam Korpri mengajukan protes ke komandan Polpp atas kekerasan verbal
yang dilakukan oleh oknum Polpp. suasanapun semakin tidak terkendali, bagaimana
tidak, beberapa dari guru dengan jumlah banyak termasuk penulis berusaha masuk
menerobos barisan satpolpp merasa tindakan oknum Polpp itu merupakan bentuk
penghinaan terhadap guru dan mendesak sat Polpp untuk mengklarifikasi dan
memohon maaf atas insiden itu. Tapi aneh, yang seharusnya Polpp meminta maaf,
malah oknum Polpp memberikan serangan terhadap guru menggunakan sangkur. Dengan muka sangar berusaha mendekati
kerumunan guru dan àksinya pun dihadang
oleh anggota satuannya yang lain. Entah
apa yang terjadi jika sangkur membuat guru tersungkur.
Sudah jatuh tertimpa tangga. itu kira kira ungkapan yang pas dirasakan
guru saat hardiknas itu, cekcok guru dan Polpp semakin tidak menemukan jalan
keluar. Pihak guru yang merasa dihina semakin menunjukan perlawanan dengan
tensi emosi tinggi. Siapapun orangnya ketika dihadapkan dengan situasi itu
pasti terbawa emosi karena guru merasa tidak dihargai apalagi mengancam guru
dengan menggunakan senjata tajam yang melekat di pakaian dinasnya. yang
seharusnya di hari ulang tahunnya, Pendidikan diberikan kado indah tapi justru penghinaan yang dinisbatkan.
Setiap elemen pendidikan merasa geram dengan tindakan oknum Polpp.
Berbagai unsur pendidikan dalam hal ini PGRI ikut merespon kejadian itu. tampil
dan ikut terlibat dalam suasana bentrok guru dan Polpp di halaman kantor bupati
dengan mencari solusi penanganan masalah yang sesekali berusaha meredam amarah
para guru. beberapa dari guru terus melawan dan mendesak Polpp meminta maaf
atas kejadian itu. lagi dan lagi harapan yang sia sia justru oknum Polpp jauh lebih
amarah.
Bentrok guru dan Polpp sedikit mereda setelah perwakilan dari PGRI
memfasilitasi bertemu dengan BUPATI Bima yang pada saat itu diwakili oleh salah
satu unsur pejabat lingkup kabupatena Bima. Ditempat mediasi suasana semakin
hangat. para guru menyampaikan perasaannya. persaan sakit setelah mendapat
kekerasan verbal dan ancaman fisik dari Polpp. tapi anehnya lagi pihak Polpp
tidak meminta maaf justru yang minta maaf pejabat lain yang berdasi. Penulis
kurang tahu identitasnya. Patut disesali ketika mediasi itu hanya berlangsung
sesaat di halaman kantor Bupati dan hanya sampai pada bawahan Bupati. yang
seharusnya persoalan ini harus ditangani langsung oleh Bupati Bima. karna bagi
guru itu adalah masalah besar.
Begitulah Hardiknas Kabupaten Bima tahun 2019. sebuah potret yang
mencerminkan betapa pendidikan dalam hal ini guru tidak dilindungi dan dihargai
oleh profesi lain.
Teringat sejarah Jepang. Ketika bom atom meluluh lantakkan kota Heroshima
dan Nagashaki pada agustus 1945, Kaisar Jepang yang terpukul akibat serangan
bom Amerika berusaha tegar sembari meluncurkan satu pertanyaan yang mungkin
dianggap sederhana tapi sangat mendalam." ada berapa orang guru yang masih hidup" . tanya sang kaisar
yang sama sekali tidak menanyakan berapa jumlah tentara yang masih hidup.
Kaisar Jepang itu sangat tegar dan benar
dengan pertanyaannya tersebut. Apa yang terjadi jika suatu bangsa tidak
memiliki guru guru terampil dan andal. para murid pernah diajar oleh guru gurunya.
mereka tidak pernah menyebut mantan guru terhadap sesorang yang pernah berdiri
didepan kelas di masa mereka sekolah. (flash back buku sekolah ditengah ancaman
Bom
Inilah potret pendidikan di negara Jepang yang menjadikan pendidikan
sebagai pelopor pembangunan bangsa. betapa guru dihargai seakan didewakan di
negeri itu.
Dengan kejadian tanggal 2 mei , menunjukan betapa guru direndahkan
martabatnya, dilecehkan profesinya dan diabaikan perlindungannya.
ketika para guru di sekolah, di saat mendidik, terkadang mendapat
kekerasan dari siswa. bahkan ada yang meninggal karna kekerasan yang dilakukan
siswanya. menjadi guru pekerjaan berat, lebih berat dari profesi lainnya.
olehnya demikian, saatnya guru diposisikan sebagai manusia yang tinggi
martabatnya bukan sebaliknya.
Siswa yang berbuat kasar pada guru masih bisa diberikan toleransi mungkin
karena pertimbangan berasal dari latar belakang sosial yang buruk dan kondisi
keluarga broken home dan masih butuh sentuhan pendidikan, itupun harus melewati
proses penanganan yang alot. Tapi ketika
ada oknum aparat yang berada di sebuah sistem, tindakannya diatur oleh sistem,
melakukan tindakan represif terhadap guru apakah wajar dan pantas diberikan
toleransi?
#selamatkan guru indonesia#
Penulis adalah Syahrul Ama La Shima (wakil sekretaris PGRI Kecamatan Parado)