Incinews.net
Jumat, 01 Februari 2019, 15.58 WIB
Last Updated 2019-02-01T07:58:20Z
DompuOpini

Menikah Dibawah Umur Menurut Undang-undang : 1/1974 tentang Perkawinan

 Oleh: Waliyyul Ahdil Islam 
 (Penghulu pada KUA Kecamatan Dompu) 

Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Tujuannnya adalah untuk mewujudkan kehidupan berrumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Ini tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 2 dan 3. 

Perkawinan juga merupakan fitrah manusia untuk menunjukkan normal dan sempurnanya dengan naluri saling tertarik kepada lawan jenis. Namun akan menjadi persoalan apabila penyaluran rasa ketertarikan ini tidak disambut secara benar menurut aturan dan norma-norma keagamaan dan tradisi pada masyarakat atau membiarkan dua insan yang sedang “dimabuk asmara” ini memilih jalan lain yang melanggar aturan atau melanggar hukum agama. 

Lantas bagaimana dengan “dua sejoli” yang ingin dipertemukan dalam satu ikatan perkawinan, sementara di sisi lain harus berhadapan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait dengan batas umur perkawinan. 

Beberapa waktu yang lalu, Maryati, Endang Wasrinah dan Rasminah sebagai pemohon, mengajukan untuk uji materi pada MK (Mahkamah Konstitusi) dengan nomor perkara 22/PUU-XV/2017, untuk pasal 7 ayat (1) Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun, Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. 

MK dalam putusannya mengabulkan sebagian dari permohonan tersebut. MK tidak memberikan batasan usia perkawinan untuk perempuan, sebab hal tersebut dikembalikan wewenang pada lembaga pembentuk UU. MK juga memberi tenggang waktu paling lama tiga tahun untuk melakukan perubahan tentang perkawinan, khususnya dengan batas usia calon pengantin perempuan. 

Bagian dari pertimbangan majelis hakim MK adalah adanya pertentangan dengan batas umur pada beberapa undang-undang, tentang batas usia anak sebelum 18 tahun, misalnya; UU nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, UU nomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, UU nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. 

Dari dasar pertimbangan tersebut, sesungguhnya dalam UU Perkawinanpun telah memberikan batasan yang sama yaitu tepatnya pasal 47 ayat 1) anak yang belum mencapai umur 18 tahun (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Sedangkan dalam KHI memberikan batasan pada umur 21 tahun (pasal 98 ayat 1).

Bagaimana realitasnya sekarang terhadap fenomena yang terjadi di masyarakat tentang adanya “anak-anak” yang saling tertarik untuk menikah sementara umur masih dibilang “bau kencur” (Usia dini) atau belum cukup umur dengan batasan 18 tahun sebagaimana peraturan perundang-undangan yang berlaku? 

UU Perkawinan sebenarnya telah lebih protektif dalam memberikan batasan umur bagi calon pengantin, yaitu 21 tahun. Sedangkan anak yang kurang dari 21 tahun harus pendapatkan izin dari orang tua atau dengan kata lain 21 tahun sampai 19 tahun bagi laki-laki dan 21 tahun sampai 16 tahun bagi perempuan. Pada Pasal 6 ayat 2) “Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

Hal inilah yang dijembatani oleh UU perkawinan untuk memberikan solusi terhadap anak-anak yang umurnya kurang dari 19 tahun bagi calon pengantin laki-laki dan 16 tahun bagi calon pengantin perempuan, yaitu dengan mengikuti sidang dispensasi di Pengadilan Agama. Hal ini tertuang dalam pasal 7 ayat 2) “Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita”. 

Adapun prosedur untuk mengikuti sidang dispensasi ini yaitu calon pengantin atau kehendak nikah mengajukan permohonan untuk melangsungkan perkawinan pada KUA Kecamatan dengan membawa berkas persyaratan pencatatan nikah, kemudian meja penerima menerima pendaftaran dan mengarahkan permohonan tersebut untuk dilakukan pemeriksaan dan penelitian oleh penghulu, setelah dilakukan pemeriksaan, penghulu/PPN mengeluarkan surat penolakan perkawinan karena tidak memenuhi syarat atau adanya pelanggaran peraturan perundang-undangan. Karena adanya penolakan dari KUA Kecamatan inilah yang menjadikan calon pengantin atau kehendak nikah menempuh upaya hukum dengan mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama untuk memberikan dispensasi atau izin melaksanakan perkawinan bagi calon pengantin yang kurang umur tersebut.

Pengadilan Agama sesuai wewenangnya yang tertuang dalam UU nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama pasal 49 ayat 1 dan 2, setelah melakukan proses sidang mengeluarkan keputusan apakah mengabulkan atau menolak permohonan tersebut. Permohonan yang dikabulkan dan memiliki kekuatan hukum tetap inilah yang menjadi dasar bagi KUA Kecamatan untuk menerima kembali dan mencatat pernikahan tersebut.

Demikian sekilas informasi mengenai prosedur tentang dicatatnya peristiwa nikah bagi calon penganting yang berusia di bawah umur, semoga bermanfaat.