Incinews.net
Selasa, 19 Mei 2020, 21.15 WIB
Last Updated 2020-05-19T15:18:46Z
HeadlineNTBOpini

Kerja Komunikasi dan Virus Kata-Kata


Oleh : M. Zakiy Mubarok 
Ketua BPC Perhumas Mataram - NTB

"Pertempuran New Orleans (1815) pecah, justeru sesudah perjanjian perdamaian ditandatangani di Eropa. Hanya karena informasi tentang perjanjian itu tidak sampai ke tangan Jenderal Andrew Jackson."

Istilah ledakan komunikasi (communication exploaded) muncul untuk menggambarkan fenomena hadirnya informasi di mana-mana yang datang dari berbagai arah. Tidak hanya itu, untuk satu peristiwa yang sama, terkadang kita disuguhi beragam cerita, baik yang tampak maupun yang ada dibaliknya. Celakanya, cerita itu kontradiktif satu dan yang lainnya.

Tapi, kalau kita mendekati fenomena itu dari sisi objektifitas, maka kita tidak boleh menolak (apapun bentuk) informasi yang ada. Apalagi penolakan itu alasannya hanya karena kita tidak (atau belum) melihat dan membuktikan apa yang termaktub dalam sebuah informasi. Ikhwal objektivitas terhadap informasi ini bukan saya yang bilang, tapi kata Quraish Shihab (2011).

Jika kita berpegangan pada pandangan ahli tafsir Al Qur'an itu, menurut hemat saya, apapun alasannya, informasi yang datang dari berbagai arah dan hadir ke tengah-tengah kita, tetap harus dipersepsikan sebagai sesuatu yang penting dan berguna. Setidaknya penting dan berguna karena kita jadi ingin mengetahui dan sampai pada pengetahuan yang membenarkan atau mengoreksi informasi tersebut melalui ikhtiar akal dan nalar yang kita miliki. 

Sejalan dengan itu, Abbas Mahmud al-'Aqqad, mengatakan, tidaklah beralasan menyatakan satu informasi dibuat-buat hanya karena informasinya berpotensi untuk dinilai sebagai hasil rekayasa dan imajinasi. Karena jika 'kemungkinan rekayasa' dijadikan sebagai tolak ukur, maka semua informasi, walau benar, dapat dinilai hasil rekayasa. 

Karena itulah, lanjut Abbas, seorang kritikus harus (atau dituntut) mampu melihat, adakah sebab yang mendukung lahirnya apa yang ia duga sebagai rekayasa itu? Adakah yang dapat menarik keuntungan dengan rekayasa itu? Kalau tidak, maka dugaan yang dasarnya hanya  'sekedar aneh' dan atau 'luar biasa' atas informasi yang diperoleh, tidak dapat dijadikan bukti rekayasa.

Darimana sebaiknya kita mengurai untuk memastikan apakah informasi itu benar atau salah, entah karena alasan rekayasa atau konspirasi? 

Saran saya jika diperkenankan, mari kembali pada makna dan hakekat bahasa dalam kajian filsafat ilmu. Seperti yang kita ketahui bersama, bahasa yang terdiri dari dua simbol, yaitu kata dan gerak, memiliki peran penting dalam kegiatan komunikasi (dan nalar). 

Nah optimal atau tidaknya peran bahasa tersebut, sangat ditentukan oleh sejauhmana bahasa berinteraksi antara lain dengan logika, dan teknik analisis data (Dalam kajian filsafat ilmu bahasa juga tidak bisa dilepaskan dari matematika dan statistika). Dari sinilah kita bisa memulai perjalanan untuk sampai pada kesimpulan, apakah kita menerima atau menolak sebuah informasi.

Berkaca pada uraian diatas, maka mengoptimalkan peran bahasa dalam suasana pandemi Covid-19 saat ini adalah keharusan. Agar maksimalisasi penyampaian dan penerimaan informasi sebagai bagian dari kerja-kerka komunikasi dapat lebih efektif dan efisien dikomunikasikan dan diterima oleh publik. 

Kita sama-sama mengetahui, dari satu kasus Covid-19 ini lahir beragam informasi dan cerita dibelakangnya. Isu tentang konspirasi, rekayasa, serangan senjata biologis, murni peristiwa medis, dan lain-lain, hampir setiap saat mengisi konten-konten media sosial. Belum lagi yang berkaitan permasalahan ekonomi, budaya dan perilaku, sikap dan tradisi keagamaan, dan masih banyak lagi lainnya. 

Saat awal-awal ketika Covid-19 baru menyerang beberapa negara (yang kalau tidak salah bermula di Wuhan Cina) hampir kita semua di Indonesia menganggapnya biasa-biasa saja. Kalaupun ada, penanganannya tidak sedramatis hari ini. Meski belakangan, kita juga disuguhi "drama" kontradiksi pernyataan satu dan lainnya berkaitan dengan penanganan dan pengendalian Covid-19 ini. 

Di bagian awal sebagai pengantar dari tulisan ini, saya kutip kisah pertempuran New Orleans  yang "menyindir" terjadinya akibat pesan penting yang tak sampai pada pengambil kebijakan. 

Tentu sebagian besar kita pernah membaca atau mendengar sejarah Pertempuran New Orleans. Sebuah pertempuran yang terjadi 1812-1815 antara Angkatan Darat Britanis dibawah Mayor Jenderal Sir Edward  Pakenham dan Angkatan Darat Amerika Serikat dibawah Brevet Mayor Jenderal Andrew Jackson.

Menurut sejarah, ada beberapa sebab mengapa pertempuran itu sampai terjadi. Namun ada satu hal penting yang menjadi catatan  menarik dibalik kisah pertempuran yang akhirnya dimenangkan oleh Amerika Serikat itu. Yakni, pertempuran terjadi justeru 'sesudah perjanjian perdamaian ditandatangani' di Eropa oleh kedua belah pihak 1814, hanya karena informasi tentang perjanjian damai itu tidak sampai ke tangan Jenderal Andrew Jackson.

Pertempuran New Orleans yang berlangsung di sekitar 5 mil (8,0 kilometer) selatan Kota New Orleans dekat kota Chalmette (Louisiana saat ini), layak untuk menjadi satu pelajaran penting, betapa pesan yang baik, harus segera sampai kepada publik. Bahwa komunikasi dan informasi selain harus efisien dan efektif, juga harus segera tiba pada para pihak yang memerlukan. Satu informasi dan satu cerita. Media massa, hanya melaporkan. Begitulah ceritanya. Anda punya cerita lain?  Wallahu'alambishawab.