Incinews.net
Sabtu, 29 Februari 2020, 14.07 WIB
Last Updated 2020-02-29T06:13:38Z
HeadlineOpini

Kelola Lobster NTB: Peran BUMD NTB PT. Gerbang NTB Emas (GNE)

"Perlu ada penyegaran personalia pada BUMD PT GNE agar lebih progresif melihat peluang dan tantangan. Karena selama ini personalia lama PT GNE tak mampu melihat peluang keuntungan pada sektor Kelautan dan Perikanan Nusa Tenggara Barat."


Penulis: Rusdianto Samawa, Ketua Umum Asosiasi Nelayan Lobster Indonesia (ANLI)

__________________


Tulisan sebelumnya seputar ekonomi lobster NTB sudah diuraikan. Karena itu, Pemprov NTB harus ada penyegaran dan restrukturisasi peran BUMD NTB, PT. Gerbang NTB Emas (GNE) untuk terlibat dalam skema penangkapan benih, pengelolaan, pendederan, manajemen, pembesaran hingga ekspor agar NTB bisa segera mengambil manfaat kesejahteraan dari potensi lobster.

PT GNE harus menyadari bahwa: munculnya para investor untuk ekspor dan budidaya lobster harus dijemput dan menjalin komunikasi dengan berbagai pihak dengan investor Jepang, Korea, Taiwan, Thailand, Hongkong, Singapore, Vietnam, China, dan lainnya yang tertarik melakukan pembudidayaan benih lobster dan ekspor benih bening lobster.

Pertimbangan perubahan Peraturan Menteri tentang lobster yakni dalam rangka menjaga keberlanjutan ketersediaan sumber daya perikanan, peningkatan kesejahteraan masyarakat, kesetaraan teknologi budidaya, pengembangan investasi, peningkatan devisa negara, serta pengembangan pembudidayaan Lobster (Panulirus spp.). Hal ini harus dijemput, paling penting menyusun strategi.

Rencana Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam skema kebijakan: penangkapan, perdagangan, pengeluaran (ekspor), pembesaran dan restocking benih lobster memperluas peluang Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Yang terpenting, menghadirkan teknologi budidaya benih lobster dengan hitungan bisnis cukup baik. Maka, PT. GNE mengambil peran aktif dan progresif untuk menghadirkan teknologi yang tepat untuk budidaya benih lobster.

Ada opsi untuk ekspor dan pembesaran benih lobster. Kalau tidak dibesarkan benih lobster akan mati sia-sia, kemungkinan hidupnya tinggal 1 %. Tapi kalau dibesarkan, maka memiliki peluang Survival Ratenya 70%. Namun, masalah lain lagi, di Indonesia Lobster hanya maksimal hidup hanya 40%. Karena dipengaruhi faktor alam. Belum hadirnya teknologi yang bagus.

Hal itulah yang perlu dilakukan PT GNE yakni mengintervensi lobbi untuk bisa mengatur kembali ketentuan penangkapan dan/atau pengeluaran Lobster (Panulirus spp.) yang perlu ditetapkan melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.) yang baru di wilayah Negara Republik Indonesia. Regulasi ini diharapkan bisa menjelaskan apapun masalah yang selama ini dihadapi dan bermanfaat bagi seluruh masyarakat.

Karena PT GNE harus menyadari, bahwa: petani tidak sanggup memelihara benih lobster sehingga beratnya menjadi 200 gram karena biayanya mahal. Begitu juga ketika PT. GNE membeli benih lobster ukuran 100 gram, kemudian diminta petani untuk membudidayakan supaya beratnya menjadi 200 gram, mereka juga tidak sanggup. Karena mereka tak bisa menjamin benih lobster seberat 100 gram yang dipelihara akan tetap hidup semuanya. Sehingga beratnya menjadi 200 gram. Maka, itu pentingnya PT GNE bekerja menghadirkan teknologi budidaya yang bagus. Kalau ada, budidaya bisa aman dan bisnisnya akan lancar. Sehingga bisa secara maksimal mengembangkan pembudidayaan secara sendiri oleh GNE.

Sementara peraturan menteri baru yang akan datang juga menjelaskan tentang pola penangkapan dan pengeluaran (ekspor). Sesuai pada rancangan Pasal 2 yakni: penangkapan dan/atau pengeluaran lobster (Panulirus spp.), di atau dari wilayah Negara Republik Indonesia hanya dapat dilakukan dengan ketentuan: 1). tidak dalam kondisi bertelur yang terlihat pada abdomen luar; 2). Lobster pasir (Panulirus homarus) ukuran panjang karapas di atas 6 (enam) cm atau berat diatas 150 (seratus lima puluh) gram per ekor; atau). 3). Lobster jenis lainnya ukuran panjang karapas diatas 8 (delapan) cm atau berat diatas 200 (dua ratus) gram per ekor.

Hal ini untuk ekspor lobster tangkapan alam dan hasil budidaya yang sudah layak ekspor. Persfektif sangat objektif, posisinya tidak menangkap sedang bertelur dengan abdomen luar (telurnya sudah posisi diluar karapas). 

Tentu cara abdomen luar ini membuat nelayan penangkap lobster memudahkannya identifikasi sehingga tidak menangkap. Dari peraturan tersebut, harus belajar dari kegagalan kelola potensi sekitar 2.246 orang nelayan Lobster di NTB akan bangkit kembali ambil bagian. Masing-masing nelayan lobster di Kabupaten Lombok tengah sebanyak 873 orang, Lombok Timur 1. 074 orang, dan Lombok Barat sebanyak 229 orang.

Penjelasan lanjutnya pada pasal 2 ayat 2 dan 3 rancangan peraturan menteri baru, bahwa penangkapan dan/atau pengeluaran Benih Bening Lobster (Puerulus) serta pengeluaran (ekspor) Lobster (Panulirus spp.) dengan ukuran lebih besar dari ukuran Benih Bening Lobster (Puerulus) sampai dengan ukuran yang lebih kecil dari 150 (seratus lima puluh) gram untuk pembudidayaan Lobster (Panulirus spp.) dalam negeri hanya dapat dilakukan dengan syarat ketentuan, yakni:

Pertama, sumber Benih Bening Lobster (Puerulus) berasal dari area perairan di WPPNRI dengan  kelimpahan stok dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan sesuai dengan hasil kajian Komnaskajiskan. Kedua, setiap orang penangkap Benih Bening Lobster (Puerulus) harus terdaftar dalam kelompok nelayan penangkap Benih Bening Lobster (Puerulus) di lokasi penangkapan sumber Benih Bening Lobster (Puerulus);

Ketiga, penangkapan Benih Bening Lobster (Puerulus) harus dilakukan dengan menggunakan alat tangkap statis. Keempat, pembudidayaan Lobster (Panulirus spp.) dalam negeri baik yang dibentuk oleh setiap orang harus melaksanakan kegiatan usaha di Provinsi yang sama dengan area perairan sumber Benih Bening Lobster (Puerulus) dan di lokasi yang sesuai dengan Rencana Zonasi Wilayah Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;

Kelima, pembudidayaan Lobster (Panulirus spp.) dalam negeri dapat  dilakukan dalam satu sistem usaha atau dalam bentuk segmentasi usaha, dengan memperhatikan daya dukung lingkungan perairan sesuai dengan rekomendasi Direktorat Jenderal yang menyelenggarakan tugas dan fungsi di bidang perikanan budidaya.

Keenam: pembudidayaan Lobster (Panulirus spp.) sesuai segmentasi pembudidayaan masing-masing,  harus menyisihkan 1 (satu) persen dari sumber Lobster (Panulirus spp.) yang dibesarkan dalam ukuran minimal 5 (lima) gram untuk pemulihan stok lobster di area perairan tempat pengambilan Benih Bening Lobster (Puerulus); dan
setiap orang penangkap Benih Bening Lobster (Puerulus) maupun pembudidayaan Lobster (Panulirus spp.) dalam negeri ditetapkan oleh Direktorat Jenderal yang menyelenggarakan tugas dan fungsi di bidang perikanan budidaya.

Ini yang dimaksud pembudidaya benih lobster harus restocking (kembalikan) ke alam sebesar 1 persen berukuran 5 gram sebagai keberlanjutan. Hal ini tujuannya untuk menjaga stok induk lobster dan sumberdaya telur lobster. Selain itu, menjaga keseimbangan alam dan lingkungan sekitar wilayah perairan diseluruh Indonesia agar tidak punah.

Diantara semua legalisasi penangkapan, pengeluaran lobster dan benih bening lobster, ada hal paling penting, yakni pengawasan yang ketat. Sesuai Pasal 8, bahwa pengawasan komoditas Benih Bening Lobster (Puerulus) dan Lobster (Panulirus spp.) itu sendiri di instalasi karantina ikan dan/atau  di tempat pemasukan dan/atau pengeluaran, dilakukan oleh Badan yang menyelenggarakan tugas dan fungsi di bidang karantina ikan. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Badan yang menyelenggarakan tugas dan fungsi di bidang karantina ikan.

Kemudian pasal 2 ayat 4, bahwa penangkapan dan/atau pengeluaran Benih Bening Lobster (Puerulus) untuk diekspor dari wilayah negara Republik Indonesia hanya dapat dilakukan dengan syarat ketentuan: pertama: penangkapan dan/atau pengeluaran Benih Bening Lobster (Puerulus) untuk ekspor hanya diberikan kepada eksportir yang telah memenuhi kewajiban untuk melaksanakan kegiatan pembudidayaan Lobster (Panulirus spp.) di dalam negeri;

Kedua: sumber Benih Bening Lobster (Puerulus) berasal dari area perairan di WPPNRI dengan  kelimpahan stok dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan sesuai dengan hasil kajian Komnaskajiskan; Ketiga: waktu pengeluaran Benih Bening Lobster (Puerulus) dari wilayah negara Republik Indonesia dilaksanakan dengan mengikuti ketersediaan  stok di alam yang direkomendasikan oleh Komnaskajiskan;

Keempat: setiap orang penangkap Benih Bening Lobster (Puerulus) harus terdaftar dalam kelompok nelayan penangkap Benih Bening Lobster (Puerulus) di lokasi penangkapan sumber Benih Bening Lobster (Puerulus); Kelima: penangkapan Benih Bening Lobster (Puerulus) harus dilakukan dengan menggunakan alat tangkap statis;

Keenam: setiap orang yang melaksanakan ekspor Benih Bening Lobster (Puerulus) dikenakan kewajiban membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak per satuan ekor Benih Bening Lobster (Puerulus) dengan nilai yang ditetapkan oleh Kementerian yang menyelenggarakan tugas dan fungsi di bidang keuangan negara;

Ketujuh: setiap orang yang melaksanakan ekspor Benih Bening Lobster (Puerulus) yang telah melaksanakan kegiatan pembudidayaan Lobster (Panulirus spp.) di dalam negeri wajib untuk menyisihkan 1 (satu) persen dari sumber Lobster (Panulirus spp.) yang dibesarkan dengan ukuran minimal 5 (lima) gram untuk pemulihan stok di area perairan tempat penangkapan Benih Bening Lobster (Puerulus); 

Kedelapan: pengeluaran benih bening lobster untuk kepentingan ekspor wajib menunjukkan Surat Keterangan Asal (SKA) yang diterbitkan oleh dinas yang menyelenggarakan tugas dan fungsi di bidang kelautan dan perikanan pada pemerintah daerah setempat.

Kesembilan: setiap orang yang melaksanakan ekspor, menangkap Benih Bening Lobster (Puerulus) dan pembudidayaan Lobster (Panulirus spp.) ditetapkan oleh Direktorat Jenderal yang menyelenggarakan tugas dan fungsi di bidang perikanan budidaya.

Pasal 8 dalam rancangan peraturan menteri yang baru ini, tentu pengawasan harus ketat dan membuat pola koordinasi. Lembaga Komnaskajiskan, Kepolisian, badan Karantina, dan Imigrasi harus membentuk saat koordinasi yang sama untuk mengawasi, menindak dan merekomendasikan bagi pelanggar peraturan. Tentu kuota ekspor benih bening harus diawasi oleh 3 institusi tersebut agar tidak ada penyelundupan lagi. Harus teratur sehingga negara mendapat PNBP dan hasil pajak dari eksportir perusahaan yang mendapat kuota ekspor.

Sebagai pelaksana teknis dari pengawasan tersebut, bahwa sesuai Pasal 9 bahwa setiap orang yang melakukan penangkapan dan/atau pengeluaran Benih Bening Lobster (Puerulus), Lobster (Panulirus spp.), dalam kondisi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 dikenakan sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Begitu juga pola pengawasan yang bersifat penindakan yang menjelaskan bahwa: komoditas Benih Bening Lobster (Puerulus), Lobster (Panulirus spp.), yang ditangkap atau dikeluarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam keadaan: 1). hidup dilepasliarkan ke alam; 2). mati dapat dimusnahkan atau dikuasai oleh negara sesuai peraturan perundang undangan yang berlaku; atau 3). mati dapat dimanfaatkan untuk kepentingan sosial atau kepentingan lainnya setelah mendapat persetujuan Menteri.

Sementara penjelasan lokasi dan tata cara pelepasliaran ke alam sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a ditetapkan lebih lanjut oleh Direktorat Jenderal yang menyelenggarakan tugas dan fungsi di bidang pengelolaan ruang laut. Pemusnahan dan/atau pemanfaatan oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b ditetapkan lebih lanjut oleh Badan yang menyelenggarakan tugas dan fungsi di bidang karantina ikan.

Dari item-item diatas, maka PT GNE harus bekerjasama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk melakukan banyak agenda kedepan, mulai dari penelitian sumber daya untuk mengetahui jumlah potensi benih lobster yang ada di NTB. Karena proses budidaya lobster akan dikembangkan seluas-luasnya ribuan hektare. Dalam satu hektare, bisa sampai 50 keramba. Dalam satu keramba, lobster yang dihasilkan bisa sampai 70 kg.

Sebenarnya, lobster di NTB lebih dulu dikenal di Pulau Sumbawa, tepatnya di daerah Hu’u dan Waworada. Sementara di Lombok, lobster mulai dikenal setelah adanya baby lobster. Potensi benih lobster ini pada dasarnya belum dilakukan penelitian. Cuma produksi yang kita jadikan ukuran pada 2013 dan 2014 itu sebanyak 10 juta ekor dalam dua tahun itu. Tapi itu khusus dulu dari Lombok saja. Namun sekarang lebih dari 700 juta benih lobster. Dari 700 juta potensi benih lobster di NTB, sekitar 49 persen merupakan benih lobster mutiara dan 51 persen benih lobster pasir. Benih lobster pasir ini harganya antara Rp3.000-5.000 per ekor. Sedangkan benih lobster mutiara, harganya antara Rp20.000 – 30.000 per ekor.

Apabila dibudidayakan, kata Hamdi, harganya akan jauh lebih tinggi. Untuk lobster pasir ukuran 100 gram harganya mencapai Rp250.000 per ekor. Sedangkan ukuran 200 gram mencapai Rp450.000. ‘’Kalau lobster mutiara harganya antara Rp700.000 – 1.000.000 per ekor.

Perairan selatan NTB merupakan salah satu hotspot kelimpahan benih lobster yang luar biasa di samping perairan selatan Jawa dan barat Sumatera. Berbagai hasil kajian termasuk hasil studi kolaborasi KKP dalam hal ini Balai Perikanan Budidaya Laut (BPBL) Lombok dengan Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR) menyebutkan, diperkirakan ada ratusan juta benih lobster per tahun di area hotspot tersebut. Sementara di hotspot ini terjadi sink population, di mana populasi benih lobster tiba-tiba lenyap pada fase peurelus, dengan kelangsungan hidup (SR) hanya 0,01% (1 ekor yang hidup sampai dewasa dari 10.000 ekor benih).

Kajian dilakukan teliti dengan pertimbangan masukan dari seluruh stakeholders dan para ahli. Tujuannya agar pengembangan budidaya ke depan dapat berjalan lancar dengan tetap menjamin kelestarian stok di alam. Namun, pemanfaatan benih lobster untuk kegiatan budidaya jelas harus didorong. Jika Vietnam mampu membangun pembesarannya, maka harus dijemput agar kedepan mampu dan menguasai pasar lobster konsumsi dunia yang nilai ekonominya sangat besar. Kalau perlu sampai pada tahap budidaya. PT GNE bekerjasama dengan ACIAR dan Universitas Tasmania yang telah berhasil membenihan dan budidaya lobster secara berkelanjutan dan tidak merusak plasma nutfah lobster alam.

PT GNE segera berbenah untuk hadir dalam skema pengembangan budidaya agar dapat memberikan manfaat ekonomi dan berperan sebagai buffer stock, yaitu melalui pengaturan kewajiban restocking pada fase tertentu. Mestinya PT GNE segera menyusun roadmap pengembangan industri lobster  dengan melibatkan seluruh stakeholders terkait. Kajian stok, pengaturan area tangkap lestari, pemetaan ruang untuk budidaya, penyiapan teknologi, investasi, dan lainnya. Provinsi NTB perlu berpesan mendorong agar ekspor lobster diperhitungkan dengan baik, dengan mengutamakan nilai tambah.