Incinews.net
Jumat, 03 Januari 2020, 23.27 WIB
Last Updated 2020-01-04T00:15:00Z
HeadlineOpini

PR Gubernur NTB Awal Tahun


Oleh: Suaeb Qury 
Ketua LTN-NU NTB 

Merunut jejak membangun NTB dari dua Gubernur NTB sebelumnya, terasa keyakinan itu bahwa NTB akan betul -betul berubah dari sebutan NTB (nasib tergantung bali). Kini keyakinan itu, bukan sekedar mimpi. Bahwa yang bernama NTB yang dihuni oleh satu juta lebih penduduk  dan didiami oleh tiga suku besar serta keaneka ragaman suku, adat istiadat yang  multi cuktural.

Kini NTB di prediksi akan  menjelma menjadi poros kekuatan ekonomi kawasan timur dan menjadi icon dunia dengan pesona alam dan sumber daya alamnya. Bersamaan dengan menigkatnya produksi sumberda alam dan hasil bumi yang mencapai target nasional, berdasarkan rilies Badan Pusat Statistik (BPS), Provinsi NTB, Suntono mengatakan, kenaikan ekspor yang cukup tinggi ini karena ada ekspor Barang Tambang, Galian Non Migas pada November 2019.

Begitu juga dengan hasil "Ekspor NTB pada November 2019, terbesar ditujukan ke Cina 88,05 persen, kemudian disusul Amerika Serikat sebesar 5,92 persen,” kata Suntono, di kantor BPS NTB, Kamis (2/1). menjelaskan, jenis barang ekspor Provinsi NTB yang terbesar pada November 2019 adalah Barang Galian Tambang Non Migas sebesar 28,54 dollar AS atau 86,74 persen.

Kemudian disusul Ikan dan Udang sebesar 1,9 juta dollar AS atau  5,84 persen. Belum lagi semakin meningkatnya kebutuhan akan produksi dan ekspor “Perhiasan sebesar 9 ratus ribu dollar AS atau 2,91 persen, serta Daging dan Ikan Olahan sebesar 5 ratus ribu dollar AS atau 1,65 persen,".

Adapun nilai Impor pada November 2019 sebesar 20,82 juta dollar AS,  mengalami kenaikan sebesar 12,57 persen dibandingkan dengan impor bulan Oktober 2019 sebesar 18,49 juta dollar AS. Sebagian besar Impor berasal dari negara Polandia 36,47 persen, Jepang 33,76 persen, dan Thailand 12,13 persen. Hal yang sama juga dengan Jenis barang Impor dengan nilai terbesar adalah Mesin-mesin Pesawat Mekanik 48,14 persen, Karet dan Barang dari Karet sebesar 33,94 persen, serta Plastik dan Barang dari Plastik 11,68 persen,

Jika prediksi ntb menjadi poros kebangkitan ekonomi kawasan timur indonesia itu betul adanya, tentu menjadi modal penyemagat bagi para pengambil kebijakan di NTB untuk fokus membangun NTB. Dan belajar dari apa yang sudah dilakukan oleh para Gubernur NTB sebelumnya yang telah meletakkan keyakinan bahwa ntb harus bangkit dan berdaya saing. Dan kini keyakinan ntb yang gemilang itu bisakah menjadi sprit membangun ntb.

Apa benar juga,  dalam narasi panjang yang ditulis oleh sahabat Oji (partai Gelora NTB) dalam banyak media Online yang  menyebutkan bahwa "Zul-Rohmi memang unik, saat tekanan fiskal menguat, justru obsesi dan impian Zul-Rohmi sering melampui kewenangannya. Hal itu tampak pada program strategis yang diajukan, yang justru terkesan ”menyalip”  kewenangan pemerintah pusat juga kabupaten-kota. Apa saja contohnya?

Mengurus pendidikan itu niat mulia,  itu juga mandat konstitusi, juga terlebih perintah agama. Namun negara juga memiliki manajemen tata kelola. UU 23/2014 membagi kewenangan urusan pendidikan agar beban alokasi anggarannya bisa saling melengkapi. Pendidikan dasar menjadi kewenangan pemkab/pemkot; pendidikan menengah di pemprov dan pendidikan tinggi ada di pemerintah pusat sebagaimana tertuang pada lampiran UU 23/2014 angka 1A Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pendidikan Sub Urusan 1 Manajemen Pendidikan kolom 3 huruf b dan kolom 4 huruf a. Begitu juga terkait dengan program beasiswa yang dianggap sebagai prestasidengan cerdas sudara Fahrurroji menjejaskan" Zul-Rohmi untuk mengirim 1.000 mahasiswa ke luar negeri pada setiap tahunnya, yang sekarang direncanakan melalui APBD sudah “melampui’ kewenanganannya.

Disamping “melampui” kewenangannya, tata kelolanya dinilai masih belum profesional, bahkan oleh Ombudsman NTB Adhaar Hakim, pada salah satu kasus pengiriman mahasiswanya, Pemprov dinilai “mal-administrasi”.
Bisa juga dari beberapa prespektif yang cukup menohok dari program beasiswa yang menjadi alasan"mengapa dianggap melayahi atauran dan kewenagan.

Pertama, inkonsistensi indikasi pembiayaan. Semula, program beasiswa akan sepenuhnya dibiayai melalui “swasta”. Namun perkembangannya hingga saat ini, indikasi pembiayaan menjadi campur aduk, antara APBD, urun rembug swasta (CSR), hingga para pelajar yang mesti mengajukan kredit pinjaman di Bank Daerah. Inkonsistensi soal pembiayaan ini mesti diakhiri.

Kedua, alokasi belanja APBD potensial meningkat. Seorang kawan saya, motor utama Zul Rohmi dulu pada Pilgub 2018, berusaha mengklarifikasi soal program beasiswa itu. Menurutnya, pada mulanya, program ini bukan untuk membiayai mahasiswa kuliah di luar negeri, melainkan hanya untuk mengantarkan putra-putri terbaik di NTB memiliki kemampuan yang memadai untuk bisa terserap dalam mekanisme pusat melalui anggaran dan program pusat.

Ketiga, regulasi. Karena program ini menyangkut nasib dari 5 ribu lebih putra-putri terbaiknya, maka regulasi terkait dengan program tersebut mesti pasti, jelas, dan tidak Multi tafsir. Regulasi yang dimaksud tentu memuat ketentuan secara lengkap terkait dengan nilai-nilai, struktur kelembagaan, pendanaan, tata cara pelaksanaan dan hal-hal lainnya. Memang agak aneh, salah satu program unggulan Zul Rohmi ini belum memiliki payung hukum yang jelas.

Dalam salah satu surat yang dikirimkan oleh Gubernur Zulkieflimansyah ke DPRD, dasar regulasi pengiriman mahasiswa ke luar negara adalah PP 28/2018 yang merupakan turunan dari UU 23/2014 Bab XVII. Dalam pelaksanaan kerjasama dengan pihak luar negeri, maka pemerintah NTB wajib memenuhi beberapa ketentuan, yaitu obyek kerjasama merupakan kewenangan daerah, mendapatkan persetujuan pemerintah pusat, dan persetujuan DPRD.

Sampai sejauh ini, yang baru dapat dikonfirmasi pemenuhan ketentuannya hanyalah persetujuan DPRD NTB. Adapun dua klausul lainnya, masih menjadi tanda tanya, apakah sudah terpenuhi ataukah tidak. Sepertinya belum.

Keempat, kelembagaan. Untuk menuntaskan obsesi 5 ribu beasiswa ke luar negeri, dibentuklah badan hukum LPP yang bekerja di luar mekanisme negara. Dalam dokumen RPJMD, perangkat daerah penanggungjawab aktivitas ini adalah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Entah bagaimana pola hubungan Dinas Pendidikan sebagai penanggungjawab dan LPP sebagai badan non negara yang “ditugaskan” menuntaskan target RPJMD tersebut.

Apalagi jika sejak APBD 2020, dengan alokasi puluhan milyar (diatas alokasi belanja langsung penanggulangan bencana), apakah kelembagaan penanganan masih melalui mekanisme di luar negara? Apakah regulasi memungkinkan dengan cara seperti itu? Hemat saya, pemerintah NTB perlu secara cermat melakukan penataan kelembagaan.

Kelima, pembedaan perlakuan antara kuliah luar negeri dan dalam negeri. Sampai sejauh ini, saya belum mengerti, mengapa kuliah keluar negeri menjadi indikator kinerja pembangunan Pemprov NTB, sedangkan kuliah di dalam negeri tidak menjadi indikator kinerja?  Saya tidak ingin mendebat soal kualitas kampus dalam negeri versus luar negeri; tapi saya ingin memberikan tekanan pada perbedaan perlakuan, diskriminasi fasilitas. Dan “tidak diskriminatif” menjadi salah satu asas dalam pelayanan publik (UU 25/2009). Silahkan anda menalarnya.

Keenam, mencampuradukkan rezim tenaga kerja dengan rezim pendidikan. Hubungan kerjasama berlandaskan pada UU 23/2014; adapun untuk tenaga kerja rezimnya UU 13/2003 atau rezim TPPO pada UU 21/2007. Kekaburan regulasi bisa diselesaikan, jika program ini memiliki payung hukum yang jelas.  (baca: antaranews)

Dari enam pandangan dan evaluasi kritis yang coba ditawarkan oleh saudara oji, buat Zul Rohmi tentu punya peluang besar untuk mengambil pilihan program yang mengikat hati rakyat NTB dan bisa juga dikenang. Bilamana juga orentasi dan fokus mengelola dunia pendidikan yang berbasis life skil khusus SMA-SMK bisa menjadi daya dukung untuk menyiapkan generasi yang berorentasi pada peluang kerja. Sebab kewengan untuk mengeloa dunia pendidikan SMA-SMK menjadi urusan wajib bagi provinsi. 

Memadukan antar kebutuhan akan program unggulan industrialisasi dengan tanpa menyiapkan generasi yang trampil, maka bisa jadi program unggulan yang bernama industrialisasi hanyalah fatamorgana. Dan hari ini dan kedepannya,  bukan saatnya lagi  sang Gubernur  mengumbar janji dengan program -program yang tidak fokus membangun NTB.  Sebab akan berakibat pada janji yang tidak terwujud menuju NTB gemilang.

Mengapa demikian, lihat saja,  tingkat pengangguran yang cukup tinggi di NTB yang belum bisa dijawab. Karena tidak cukup dengan membangun pabrik minyak kayu putih terbesar di kabupten Bima yang sebebarnya pabrik yang sudah lama.

Begitu juga dengan tingginya kebutuhan akan barang ekspor, ini artinya produk lokal yang semestinya menjadi pemicu bagi tumbuhnya ekonomi kreatif belum bisa dimaksimalkan. Dan sudah saatnya NTB di tahun 2020 dan tahun- tahun berikutnya  buat Dr. Zul-Dr Rohmi lebih fokus menciptakan inovasi yang secara nyata berdanpak pada masyarakat.