Incinews.net
Sabtu, 29 Februari 2020, 22.05 WIB
Last Updated 2020-02-29T17:31:05Z
HeadlineOpini

Halal Haram Demonstrasi


"Demonstrasi adalah Keniscayaan pada Negara yang Memilih Bentuk Demokrasi"

Di negara-negara yang menganut bentuk demokrasi, jaminan terhadap penyampaian pendapat di muka umum termuat dalam konstitusi atau paling tidak dimuat dalam peraturan perundang-undangan negara bersangkutan. Di Indonesia sendiri, pengaturannya dapat kita temukan dengan gamblang dalam pasal 28 Konstitusi kita. Disana dinyatakan dengan tegas “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.” Selanjutnya masih dalam pasal yang sama yaitu pasal 28E ayat (3) dinyatakan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.

Pengaturan ini kemudian diperkuat dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Di beberapa pasal dalam undang-undang tersebut dijabarkan dengan jelas dan terang hak-hak apa saja yang melekat pada diri seorang warga negara beserta jaminan negara atas terlaksananya hak-hak tersebut. 

Pelanggaran atas hak-hak dasar tersebut bahkan dicela oleh Negara, sebagaimana dimuat dalam pasal 1 angka 6 UU HAM, yang menyatakan “pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini……….”

Penyampaian pendapat di muka umum, yang salah satu mekanismenya adalah demonstrasi adalah hak berdaulat yang istimewa dan konstitusional. Pengakuan dan jaminan atas hak dasar tersebut juga diakomodir dalam berbagai Konvensi Internasional, seperti Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948, Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil, dan Politik, Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia, Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia, Piagam Afrika tentang Hak Asasi Manusia dan Hak-Hak Rakyat, serta berbagai konvensi lainnya yang tersebar dalam masyarakat Internasional.

Melarang Demonstrasi

Tentu saja, penulis beranggapan sangat lucu dan mengherankan jika kemudian ketika kita bernaung di Negara yang konstitusinya memperbolehkan penyampaian pendapat, namun pada prakteknya terdapat oknum yang ingin mengekang hak istimewa tersebut. Bolehlah kita katakan, oknum yang bersangkutan sedang melakukan pengingkaran terhadap Konstitusi itu sendiri.

Demonstrasi menandakan bahwa nalar kritis dari pelakunya bekerja dengan baik. Mereka mampu menganalisis dan menilai sebuah kebijakan, apakah kebijakan tersebut memiliki dampak positif atau negatif bagi masyarakat, memenuhi rasa keadilan, atau justru hanya menguntungkan kelas kelas tertentu saja.

Kita tidak ingin benih benih kritis tersebut dikekang oleh oknum-oknum yang tak peka dengan suara suara yang kontradiktif dengan kemauan yang bersangkutan. Kita ingin selalu ada aktor penyeimbang yang akan menjadi guardian of ethics (penjaga tata prilaku) dari mereka yang berkuasa. Agar tak ada lagi kesewenang-wenangan, ketidakadilan, atau prilaku "lu siapa berani ama gue". 

Sindiran dari yang Mulia

Kebebasan menyampaikan pendapat adalah dambaan manusia diberbagai belahan dunia sejak dahulu hingga era modern. Meski demikian, disetiap periode tersebut, selalu ada oknum yang memperlakukan mereka seperti penjahat dan mengkriminalkan yang bersangkutan.

Delik mengenai fitnah, penghinaan, perbuatan tidak menyenangkan, hingga pelanggaran terhadap UU ITE kerap digunakan untuk membungkam mereka agar takut bersikap kritis.

Menariknya, hakim-hakim yang bijak di beberapa negara justru menyindir para pelapor dalam persidangan. Mahkamah Agung India misalnya, dalam kasus Naraindas vs State fo Madhya Pradesh pada tahun 1974 menyatakan “ … kebebasan tidak hanya dijamin untuk pikiran yang kita cintai, tetapi juga untuk pikiran yang kita benci”.

Hakim Brandeis dari Amerika Serikat dalam kasus Whitney vs California tahun 1927 menyatakan “Bahaya terbesar yang mengancam kebebasan adalah orang-orang yang pasif… sangat berbahaya untuk menghalangi pikiran, harapan dan imajinasi. Keselamatan dapat tercapai melalui kesempatan untuk membahas secara bebas keluhan dan pemulihan yang tersedia, dan pemulihan yang tepat untuk nasehat yang buruk adalah nasehat yang baik”.

Nasehat Untuk Kita 

Terakhir, tak elok rasanya jika penulis tidak mengakhiri tulisan ini dengan nasehat untuk kita renungi bersama. Pertama, tentu saja lebih mudah untuk mencapai harapan (pencapaian) tertinggi dalam bernegara, melalui pertukaran pendapat secara bebas. Ujian terbaik untuk kebenaran adalah kekuatan pikiran yang mampu diterima secara luas setelah bersaing dengan banyak pikiran yang lainnya. 

Kedua, setiap suara yang kontradiktif hendaknya dijadikan renungan apakah kebijakan yang telah diambil telah tepat atau sebaliknya. Amanah yang diberikan akan dipertanggungjawabkan kelak dihadapan Tuhan. Janganlah kita merasa diri paling benar dan tepat. Sejarah telah melukiskan kehancuran bagi mereka yang abai terhadap nasehat dari orang-orang yang sebelumnya dia sepelekan.  

Ketiga, Berikanlah penghargaan bagi mereka yang berani bersikap kritis dan mencela kekurangan kita. Mari, kita renungi kutipan dari Cato "Apabila seorang tidak bisa bicara atas
keinginan sendiri, orang itu hampir tidak bisa berbuat apa-apa atas keinginannya sendiri".

Keempat atau terakhir, kita perlu mengingat pelajaran dari seorang pemerhati hak asasi yang benama Sandra Colive bahwa, “Sebuah negara tidak mempunyai monopoli atas demokrasi atau kebebasan menyampaikan pendapat. Sebuah pengadilan tidak mempunyai monopoli atas kebenaran atau kebijaksanaan. 

Setiap pengadilan harus memberi kontribusi individu dalam upaya untuk mencapai masyarakat yang adil dan terhormat dimana kebebasan menyampaikan pendapat dihargai sebagai nilai yang tidak dapat diabaikan”.

Mari kita biarkan diri kita dibimbing oleh ucapan dari pepatah “Vedic”, biarlah kita dipedomani oleh bermacam-macam pikiran yang mulia”.

Penulis: Suheflihusnaini Ashady, Mantan Sekjen Bem Fakultas Hukum Unram 2012-2013 dan Seorang Advokat Muda